Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Surat Cinta Para Pendiri Bangsa Dipamerkan di Museum Nasional

15 November 2018   20:28 Diperbarui: 15 November 2018   21:27 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat Hatta kepada Gemala (Dokpri)

Salah satu sumber primer dalam sejarah adalah surat. Surat yang ditulis pada secarik kertas, mirip dengan prasasti pada masa yang lebih tua. Umumnya prasasti ditulis dengan media batu atau logam. Bedanya dengan prasasti, surat berisi hasil pemikiran atau perasaan seseorang, termasuk masalah cinta.

Surat pribadi pun ternyata layak dipamerkan, seperti yang dilakukan oleh Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan historia.id. Mulai 10 November 2018 lalu, pameran bertajuk "Surat Pendiri Bangsa" diselenggarakan di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat 12, hingga 22 November 2018 mendatang.

Bukan surat-surat formal atau kedinasan yang dipamerkan, tapi surat-surat yang ditujukan kepada sanak keluarga dan sahabat.

Ada banyak surat bertulis tangan dalam Bahasa Indonesia dan Belanda, bahkan diketik, dipamerkan. Sisi humanis jelas kelihatan. Mereka lemah-lembut, meskipun garang di bidang politik.

Ada delapan tokoh yang suratnya dipamerkan, yakni Sukarno, Moh. Hatta, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, John Lie, dan Kartini.

Menurut Bonnie Triyana, kurator pameran, ada 25 surat yang bisa disaksikan. Ke-25 surat itu disaring melalui seleksi ketat. Surat-surat itu dipajang dalam kemasan khusus sehingga aman. Maklum kertas merupakan bahan yang mudah lapuk.

Surat Kartini yang saya lihat bertanggal 1904. Berarti berusia 114 tahun. Diharapkan melalui pameran tersebut, masyarakat bisa melihat fakta yang sebenarnya dari surat sebagai sumber sejarah primer.

Pengunjung pameran (Dokpri)
Pengunjung pameran (Dokpri)
Banyak pihak

Kalau saja surat-surat itu disimpan masyarakat awam, mungkin akan musnah dimakan rayap. Untunglah surat-surat tersebut disimpan oleh keluarga atau instansi yang memang peduli.

Beberapa surat diperoleh dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Beberapa surat, seperti surat Tan Malaka dan Sutan Sjahrir, ditelusuri di International Institute for Social History (Amsterdam) dan Het Nationaal Archief (Den Haag). Ada pula surat yang diperoleh dari Kees Snoek, pengajar di Universitas Sorbonne (Prancis). Surat milik Hatta diperoleh dari koleksi keluarga.

Peneliti Tan Malaka, Harry A. Poeze, juga berpartisipasi. Ia memiliki beberapa surat Tan Malaka yang diperoleh dari Dick van Wijngaarden, teman sekelas Tan Malaka ketika bersekolah di Belanda. Surat-surat Ki Hadjar Dewantara dipinjam dari Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta.

Surat Ki Hadjar Dewantara (Dokpri)
Surat Ki Hadjar Dewantara (Dokpri)
Diterjemahkan

Agar dimengerti masyarakat, banyak surat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Terjemahan surat tersebut bisa disaksikan dalam panel pameran.

Menurut Direktur Sejarah, Ibu Triana Wulandari, pameran surat sebagai sumber sejarah, baru pertama kali dilaksanakan. Diharapkan generasi muda memahami makna dari surat-surat tersebut.

Surat Hatta kepada Gemala (Dokpri)
Surat Hatta kepada Gemala (Dokpri)
Curahan hati

Sebelum menjadi Perdana Menteri, Sutan Sjahrir pernah diasingkan ke Digul. Dalam suratnya bertanggal 30 Mei 1935, ia menulis untuk istrinya di Belanda, Maria Duchateu.

"Di dalam diri kita begitu banyak hal sepele, begitu banyak kebodohan dan piciknya pandangan. Aku terkejut melihat itu ada di dalam diriku sendiri," begitu awal surat Sjahrir.

Sukarno pada 1927 menulis ucapan terima kasih kepada Samuel Koperberg atas pemberian buku. Surat itu ditulis dalam Bahasa Belanda. Pada 1948 Sukarno menulis surat kepada Ali Sastroamidjojo soal kunjungan ke India dengan Bahasa Indonesia. Hatta menulis kepada putrinya, Gemala, memakai mesin tik. Isinya antara lain, "Ayah tidak mengira di Sydney juga ada restoran Padang...mungkin cuma di bulan saja yang tak ada restoran Padang". Hatta memang kelahiran Sumatera Barat.

Pameran ditata sedemikian rupa. Setiap tokoh mendapat porsi cukup banyak. Ayo mengenal sejarah, mengerti sejarah, dan tidak meninggalkan sejarah.

Pameran masih berlangsung selama beberapa hari lagi. Penutupan dilakukan pada 22 November 2018. Buruan datang yah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun