Menyambut Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, Museum Perumusan Naskah Proklamasi ikut berpartisipasi. Kamis, 18 Oktober 2018 museum itu menyelenggarakan seminar nasional bertema "Nasionalisme Diaspora Indonesia". Kegiatan seminar dihadiri sekitar 160 peserta terdiri atas pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati museum, komunitas, dan instansi terkait.
Kegiatan diawali dengan laporan oleh Kepala Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Agus Nugroho. Setelah itu tampil pembicara kunci Agus Widiatmoko dari Direktorat Sejarah. Ia menggantikan Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid yang mendadak harus wawancara televisi.
Pembicara pada sesi pertama adalah Dewi Savitri Wahab, Staf Ahli Kemenlu bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri; Hamdan Hamedan, dari Indonesian Diaspora Network-United; dan Nugroho Abikoesno, keluarga tokoh proklamasi Abikoesno Tjokrosoejoso. Moderator pada sesi ini adalah Bondan Kanumoyoso dari Universitas Indonesia.
Menurut Dewi Savitri, kata diaspora secara harfiah diterjemahkan "yang tersebar". Kata itu berasal dari Bahasa Yunani Kuno. International Organization for Migration mendefinisikannya, "Emigrants dan keturunannya yang tinggal di luar negeri yang bukan tempat kelahirannya dan bukan negara nenek moyangnya, baik secara permanen maupun sementara, tetapi masih mempertahankan hubungan erat dengan negara asalnya". Definisi lain diberikan oleh Kementerian Luar Negeri, yakni Warga Negara Indonesia yang menetap di luar negeri, orang asing yang dahulunya WNI (eks WNI), anak dari eks WNI, dan orang asing yang orangtuanya WNI.
Meskipun istilah Diaspora lebih populer, ternyata Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2017 menggunakan istilah Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (MILN). Berapakah jumlah diaspora Indonesia? Menurut Dewi Savitri, menurut data Bank Dunia pada 2013 berjumlah sekitar 4 juta jiwa, sementara menurut Kemlu sekitar 6 juta jiwa.
Ada berbagai alasan mengapa orang-orang Indonesia menyebar ke mancanegara. Pertama, karena dibawa pada masa kolonial ke Suriname, Kaledonia Baru, dan berbagai tempat lain. Kedua, karena tuntutan karier. Ketiga, menuntut ilmu di luar negeri. Keempat, karena pergolakan politik di dalam negeri.
Menurut Hamdan Hamedan, peran diaspora sebelum kemerdekaan cukup besar. Bung Hatta dan kawan-kawan, misalnya, mengadvokasi kemerdekaan Indonesia ke seantero Eropa. Setelah kemerdekaan, diaspora pula yang berperan untuk memperoleh pengakuan dari beberapa negara soal kemerdekaan Indonesia.
Hamdan menaksir diaspora Indonesia berjumlah 8 juta jiwa dan tersebar di 90-an negara. Mereka tetap mempertahankan identitas nasional, bahkan memperkenalkannya kepada bangsa lain, misalnya menyelenggarakan festival kuliner dan parade budaya di mancanegara. Dari diaspora ini paling kurang setiap tahun mengalir dana ke Indonesia sekitar 119 triliun rupiah.
Nugroho pernah menjadi diaspora karena disekolahkan bapaknya ke luar negeri. Di sana ia bergaul dengan berbagai bangsa, seperti orang Negro dan orang Yahudi. "Kami berkawan seperti saudara," kata Nugroho.