Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hanya Presiden dan Atlet yang Mampu Mengibarkan Merah Putih Diiringi Indonesia Raya

11 Oktober 2018   13:31 Diperbarui: 11 Oktober 2018   13:33 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya Gubernur Jenderal mengeluarkan surat edaran yang menganggap lagu ini sebagai lagu organisasi, bukan lagu kebangsaan. Permasalahan ini pun dibawa ke sidang Volksraad. Akhirnya secara resmi pemerintah kolonial melarang pelantunan lagu ini. Dalam perkembangannya kemudian, menjelang akhir 1944 pemerintah militer Jepang mengizinkan lagu Indonesia Raya.

Pertama kali lagu Indonesia Raya dinyanyikan versi keroncong. Terungkap juga setelah adanya Indonesia Raya, lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus, tidak dinyanyikan lagi.

Menurut Pak Djoko, lagu Indonesia Raya memiliki intro yang panjang. Karena itu  Panitia Lagu 1944 mengubah lirik dan birama pembuka lagu tersebut.

Dari kiri Tina Talissa, Huriyati (Kepala Museum Sumpah Pemuda), dan Christina (Dok. Museum Sumpah Pemuda)
Dari kiri Tina Talissa, Huriyati (Kepala Museum Sumpah Pemuda), dan Christina (Dok. Museum Sumpah Pemuda)
Komitmen

Sesi kedua mengambil tema peranan generasi muda dalam menjawab tantangan persatuan dan kesatuan bangsa. Tampil Tina Talisa, seorang wartawan. Dia banyak menyoroti generasi milenial lewat alat canggih seperti ponsel. Terutama lewat penyebaran berita dalam media sosial. Menurut Tina, mereka asal menyebarkan berita tanpa riset. Akibatnya banyak terjadi kegaduhan. 

Misalnya saja berita tentang atlet para games dalam cabang judo yang menolak bertanding karena tidak mau membuka hijab. Masyarakat menganggap itu diskriminasi, padahal memang peraturan federasi judo internasional begitu. Meskipun sama-sama olahraga bela diri, aturan dalam judo berbeda dengan karate dan pencak silat misalnya.  

Christina, atlet dayung yang merebut medali perak, pada Asian Games lalu ikut berbicara. Ternyata ia mengalami latihan yang begitu padat dan keras. Jadwal latihan dia pukul 05.00-07.30, 10.00-11.30, dan 16.30-18.00. Tidak heran masa remajanya terabaikan. Untuk berprestasi memang butuh pengorbanan dan perjuangan.

Namun Christina merasa bangga karena pernah mengibarkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya. "Hanya Presiden dan atlet yang mampu seperti itu," katanya.

Zaman memang terus berganti. Dulu para pemuda dan remaja berjuang demi kemerdekaan Indonesia tanpa mempertimbangkan unsur SARA. Kini justru para pemuda dan remaja yang sering membuat kegaduhan, terutama di media sosial. Benar kata Bung Karno, lebih mudah berjuang melawan penjajah daripada berjuang melawan bangsa sendiri.

Yuk, kita bangun negeri supaya kita unggul di berbagai bidang. Jangan hanya unggul di bidang pemakaian WhatsApp dan Facebook. Kita harus mampu menghasilkan produk yang diakui internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun