Untuk menyambut Proklamasi Kemerdekaan dan perhelatan akbar Asian Games, Museum Bank Indonesia bekerja sama dengan para numismatis, terutama yang tergabung dalam Club Oeang Revoloesi (CORE), menyelenggarakan kegiatan Pekan Numismatik Indonesia pada 23-26 Agustus 2018. Â Pameran dan bursa numismatik berlangsung selama empat hari. Hanya seminar dan workshop yang berlangsung saat pembukaan 23 Agustus 2018.
Topik seminar adalah Sejarah Krisis di Indonesia dan Peran Bank Indonesia dalam Mengatasi Krisis. Dua pembicara tampil pada kegiatan itu, yakni Andi Achdian dan Yiyok T. Herlambang. Andi adalah sejarawan dan anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta. Sementara Yiyok, saat ini menjabat Kepala Museum Bank Indonesia sekaligus Ketua Asosiasi Museum Indonesia Jakarta Raya, yang populer disebut Paramita Jaya. Bertindak sebagai moderator Erwien Kusuma, seorang sejarawan.
Andi mengisahkan kehidupan di Batavia ketika itu. Ada kecenderungan diskriminasi saat pemerintah yang berkuasa membagi penduduk Batavia menjadi tiga golongan, yakni Eropa (termasuk Jepang dan Filipina), Timur Asing, dan bumiputera.
Krisis yang terjadi di Batavia dimulai karena situasi ekonomi yang sulit di AS. Harga komoditi perdagangan di pasar dunia merosot tajam. Begitu pula permintaan. Dengan demikian ekspor dari tanah jajahan menurun. Sebaliknya bunga dan hutang luar negeri tetap tinggi dan harus dibayar. Â Hal itu mengakibatkan banyak perusahaan perkebunan di Jawa dan Sumatera Timur bangkrut.
Depresi besar atau malaise itu mulai terjadi pada 1929. Di Batavia, menurut Andi, terjadi pada 1930. Akibat malaise, jutaan orang di seluruh dunia termasuk Batavia, menderita kesulitan hidup.
Yiyok menyoroti krisis yang terjadi di Indonesia sebelum 1997 berdasarkan kebijakan perbankan Indonesia, antara lain tentang Paket Oktober yang disingkat Pakto. Sebelum adanya Pakto di Indonesia terdapat 7 Bank Pemerintah, 66 Bank Swasta Nasional, 27 BPD, 1 Bank Campuran, dan 10 Bank Asing. Namun kemudian izin pendirian bank dipermudah, sehingga dengan modal 10 Miliar siapa saja, terutama perusahaan, bisa mendirikan bank. Begitu juga BPR (Bank Perkreditan Rakyat).
Nah, akibat terjadi krisis moneter 1997 yang berpuncak pada 1998, banyak perusahaan memiliki hutang luar negeri yang melonjak. Maklum ketika itu kurs rupiah terhadap dollar semakin melonjak. Tadinya sekitar Rp2.000 per 1 dollar menjadi Rp16.000 per 1 dollar.
Akibat dari krisis tersebut, maka beberapa bank dilikuidasi atau bahasa populernya ditutup. Beberapa bank lagi harus merger atau digabung. Sebagai misal, kata Pak Yiyok, Bank Mandiri merupakan merger dari Bank Ekspor-Impor, Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, dan Bank Pembangunan Indonesia.
Seusai seminar, Pak Suhendar dan satu lagi saya lupa namanya, memberikan workshop atau sosialisasi tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah. Metode 3 D, Dipegang, Diraba, Diterawang tetap menjadi patokan buat masyarakat.