Nama H.O.S. Tjokroaminoto sudah cukup dikenal di Indonesia. Ia sering disebut dalam buku-buku sejarah. Maklum, ia aktif di organisasi Sarekat Islam (SI) yang kemudian berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tidak heran, untuk mengenang jasa-jasa beliau, nama jalan H.O.S. Tjokroaminoto ada di beberapa daerah.
Tidaklah demikian dengan adiknya, Abikoesno Tjokrosoejoso. Siapa dia? Ia dipandang Bapak Pendiri Kemerdekaan Indonesia dan penandatangan konstitusi. Ia pun dianggap representatif kalangan Islam anggota Panitia Sembilan yang bertugas merancang Pembukaan UUD 1945 atau yang dikenal dengan Piagam Jakarta.Â
Ketika pemerintahan Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945, Abikoesno merupakan perwakilan tokoh Islam. Boleh dibilang hingga kini Abikoesno tokoh yang terlupakan.
Setelah beberapa bulan lalu berlangsung diskusi, kali ini Museum Perumusan Naskah Proklamasi menyelenggarakan pameran tentang tokoh itu, Abikoesno Tjokrosoejoso.Â
Pameran itu bertajuk "Sang Arsitek Pendiri Bangsa", berlangsung pada 9 Agustus-9 September 2018. Diawali sambutan Kepala Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Bapak Agus Nugroho, kegiatan pameran dibuka secara resmi oleh Ibu Dedah R. Sri Handari, Kepala Subdirektorat Permuseuman, Kemdikbud.
Pameran menampilkan sejumlah panel informasi, buku-buku tentang Abikoesno, tanda penghargaan yang pernah ia terima, dan surat-surat bersejarah. Dari pameran diketahui Abikoesno lahir di Madiun pada 15 Juni 1897 dan wafat pada 1968. Pada 8 Juni 1917 ia lulus dari Koningin Emma School Surabaya.
Sebagai pelajar otodikdak yang ulet, Abikoesno kerap belajar mandiri. Selanjutnya ia diterima di Architects examen di Jakarta dan lulus pada 1925. Â Pada tahun yang sama ia meraih gelar arsitek melalui kursus tertulis di Belanda yang dipelajari secara korespondensi.
Salah satu panel pameran memuat informasi tentang kiprah Abikoesno sebagai arsitek. Pada awalnya para arsitek adalah para perancang bangunan yang berasal dari insinyur militer.Â
Setelah itu bermunculan arsitek dari kalangan sipil yang berasal dari Kantor Pekerjaan Umum (Burgelijke Openbare  Werken/BOW). Pada 1921 BOW berubah menjadi Landsgebouwdienst. Selain itu muncul para arsitek privat atau swasta, bahkan banyak yang berdatangan dari Belanda.
Abikoesno tercatat sebagai insinyur swasta yang lulus ujian untuk mendapatkan izin praktek sebagai arsitek melalui BOW. Â Dalam menekuni profesi arsitek, Abikoesno sering memadukan filosofis antara pendidikan barat dengan budaya timur tapi tetap berpegang pada prinsip agama.Â
Pada zaman Jepang, Abikoesno diperintahkan membangun gedung-gedung baru di Jakarta, di antaranya gedung pertahanan dan keamanan, pembuatan kamar bola, dan perbaikan Istana Merdeka.
Sebenarnya Pasar Cinde dibangun antara 1957-1958 diarsiteki Abikoesno. Yang khas dari Pasar Cinde adalah tiang-tiang atau kolom cendawan yang diduga rancangan Thomas Karsten, yang meninggal pada 1945.Â
Bangunan cagar budaya itu dirobohkan pada 2017, meskipun rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya bukan seperti itu. Selanjutnya di lahan Pasar Cinde yang tradisional diganti bangunan modern. Masjid Syuhada Yogyakarta dikabarkan terinspirasi dari bangunan Taj Mahal di India dan Candi Borobudur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H