Tak cuma pameran dan peluncuran buku, Direktorat Sejarah juga menyelenggarakan seminar bertajuk "Hubungan Indonesia-Jepang dalam Lintasan Sejarah". Seminar itu berlangsung di Perpustakaan Nasional pada 2 Agustus 2018.
Seminar berlangsung dalam dua sesi. Sesi pertama menghadirkan Susanto Zuhdi (Guru Besar Sejarah FIB UI), Nino Oktorino (Penulis sejarah militer), dan Jajat Burhanuddin (Dosen Sejarah UIN Syarif Hidayatullah). Sebagai moderator I Ketut Surajaya (Guru Besar Sejarah FIB UI).Â
Sesi kedua menampilkan Ryo Nakamura (Staf kedutaan besar Jepang), Aiko Kurosawa (Guru Besar Keio University), Didi Kwartanada (Peneliti sejarah), dan Aminudin Siregar (Dosen ITB). Sebagai moderator Direktur Sejarah, Triana Wulandari.
Susanto Zuhdi membahas keberadaan dan peran bangsa Jepang di wilayah Indonesia pada masa 1900-1942. Keberhasilan Jepang dalam mengalahkan Rusia pada 1905 menginspirasi kaum pergerakan nasional Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Maka pada 20 Mei 1908 terbentuk organisasi Boedi Oetomo, yang hari jadinya ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Menurut Susanto, dalam bidang ekonomi hubungan Indonesia-Jepang sudah terjalin sejak 1930. "Perusahaan semi pemerintah Jepang seperti Nanjo Kohatsu, telah melakukan penanaman modal secara lebih intensif di wilayah Hindia-Belanda," begitu kata Susanto.
Pada bagian lain Susanto mencontohkan peran Achmad Subardjo yang pernah belajar dan tinggal di Jepang. Achmad Subardjo merupakan tokoh BPUPKI dan PPKI.
Nino membahas operasi militer Jepang di Indonesia. Diawali ketika Jepang ingin sejajar dengan bangsa maju. Dalam perang, Jepang mulai ekspansi ke Korea dan Taiwan. Selanjutnya mengalahkan Rusia dan menguasai Mancuria. Setelah itu Jepang mengincar Hindia-Belanda.Â
Menurut Nino, keunggulan Jepang terletak pada senjata rahasia milik mereka, torpedo, yang memiliki daya jelajah lebih jauh daripada punya Sekutu. Keunggulan lain, mampu mencuri rahasia militer Belanda lewat tukang cuci, pedagang kelontong, dan lain-lain yang menyamar.
Sebagai dosen di UIN, Jajat Burhanuddin membahas persoalan agama pada 1942-1945. Jepang melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia sangat antibarat. Maka untuk menarik dukungan dan memudahkan mobilisasi umat, Jepang mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan MIAI (Majelis Islam'ala Indonesia) sebagai wadah organisasi massa dan menempatkan para tokoh Islam di dalam Gunseikan.