Sebenarnya menulis di media cetak, yakni koran dan majalah, gampang dan mendatangkan duit. Saya sering mengisi berbagai rubrik yang ada di media-media tersebut.
Di Kompas, misalnya, saya pernah menulis dalam rubrik Sorotan, Teropong, Kompas Anak, Kompas Muda, Opini, Metropolitan, dan Didaktika. Soal penempatan sih terserah redaksi. Begitu pula di media-media cetak lain. Saya cuma menulis dan kirim ke redaksi. Itu saja.
Ketika media cetak masih berkuasa, saya pernah menulis di banyak media Jakarta. Di luar Kompas, saya menulis di Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Merdeka, Warta Kota, Pelita, Berita Buana, Media Indonesia, Mutiara, Amanah, Intisari, dan Reader's Digest Indonesia.
Di pihak lain, pembaca mampu memperoleh berita dengan cepat lewat daring. Bahkan berita bisa dibaca lewat genggaman, yakni ponsel.
Honor
Meskipun ditinggalkan, terutama oleh generasi milenial, tapi media cetak tetap mendapat perhatian generasi "zaman old". Maklum mereka sudah terbiasa membaca secara manual. Kini tiras media cetak semakin sedikit. Iklan pun turut turun. Bahkan beberapa media cetak sudah tutup dan sebagian lagi sekarat. Sekarang media daring naik daun.
Sebenarnya honorarium menulis di media cetak cukup lumayan untuk menyambung hidup. Pengalaman saya menulis di Kompas sekitar 2004, honorarium sekitar Rp 400 ribu. Lali pada 2014 honorarium di Kompas mencapai Rp 1 juta.
Nah, di Kompas ini ada keunikan. Selain Kompas edisi pagi yang tercetak, tulisan saya pernah dimuat juga di Kompas Siang dalam bentuk daring. Honor di Kompas Siang tetap Rp 1 juta. Setiap honor di Kompas dipotong pajak 5 persen, yakni Rp 50 ribu. Meskipun begitu tetap lumayan, menerima Rp 950 ribu.
Honorarium di Koran Tempo lumayan juga. Saya pernah dapat Rp 800 ribu untuk tulisan sekitar 600 kata dan Rp 500 ribu untuk tulisan lebih pendek.
Selain itu, di majalah bulanan lain, Reader's Digest Indonesia, saya dapat Rp 700 ribu, termasuk foto.
Terus terang, waktu itu media-media cetak Jakarta memberi honorarium lumayan besar. Paling rendah Rp 250 ribu. Andai saja kita mampu menulis dua artikel di koran dalam sebulan, tentu penghasilan sebagai penulis lepas jauh melebihi UMR.
Sekarang saya sih masih menulis di media cetak. Terutama dalam jurnal atau publikasi milik pemerintah tentang arkeologi dan museum. Publikasi mereka terbit setahun dua kali.
Sebenarnya ada beberapa media daring yang memberikan honorarium untuk penulis luar. Jelas, karena media-media besar memperoleh suntikan dana dari pemodal. Cuma memang mereka agak selektif dibandingkan media cetak. Mungkin karena penghasilan dari iklan masih minim dibandingkan di media cetak.
Saya pernah dapat Rp 150 hingga Rp 750 ribu per tulisan. Kebetulan waktu itu diminta. Yah lumayan, untuk makan baso.
Kalau saja media daring mampu memperoleh iklan dalam jumlah besar untuk menutupi ongkos produksi, termasuk di Kompasiana, saya yakin masyarakat bisa memperoleh penghidupan dari hasil menulis. Dan itu membantu lapangan kerja baru nonformal.