Senin (11/6), saya diajak seorang rekan, Jimmy, ke rumah Pak Harianto Sanusi. Sebelumnya Jimmy hanya bilang Pak Harianto merupakan seorang kolektor buku. Pokoknya ia memiliki segala rupa buku.
Untung saja rumah Pak Harianto, tidak begitu jauh dari rumah kami di Kelapa Gading. Pak Harianto tinggal di daerah Pulo Asem, Rawamangun. Kami diterima dengan baik. Rupanya Pak Harianto sudah berkenalan lama dengan Jimmy, seorang guru dan relawan di Museum Hakka.
Begitu sampai rumahnya, Pak Harianto mengajak kami ke lantai dua. Dalam satu ruangan terdapat banyak buku. Buku-buku itu sudah diklasifikasikan dan diletakkan dalam rak-rak kayu. Rak pertama yang saya jumpai berisi buku-buku komik tentang tokoh Put On dan cerita silat Tiongkok. Pada rak lain ada buku-buku Sam Kok terbitan lama. Rupanya buku-buku pertama koleksi Pak Harianto tentang Tionghoa.
Karena ingin tahu banyak hal dari bacaannya itu, Pak Harianto membeli buku-buku lain yang berkaitan. Apalagi kalau di dalam buku itu ada daftar pustaka. Nah, sumber-sumber pustaka itulah yang ia cari. Lambat-laun koleksi Pak Harianto semakin banyak dan beragam ilmu. Buku-buku sejarah ada. Buku-buku kebudayaan ada. Saya lihat ada buku Kalangwan karya P. J. Zoetmulder dan Kapustakaan Djawi karya R.M.Ng. Poerbatjaraka.
Suatu kali Pak Harianto penasaran dengan keramik. Kok, orang-orang bisa menentukan umurnya yah, begitu katanya dalam hati. Maka, Pak Harianto membeli buku-buku keramik. Ternyata, Pak Harianto punya juga koleksi keramik kuno dari berbagai zaman. Bahkan koleksi barang antik lain, seperti bel kuno yang ia beli dari pedagang barang antik. "Ini bel dari kelenteng, cuma saya belum tahu dari kelenteng mana," kata Pak Harianto.
Kami sempat ngobrol lama di ruangan Pak Harianto biasa menerima tamu. Sejak lama banyak pakar, sarjana, dan mahasiswa datang ke rumah Pak Harianto untuk berdiskusi sekaligus membaca literatur. Harry Poeze, yang dikenal sebagai peneliti tokoh Tan Malaka, pernah datang. Peter Carey, peneliti tokoh Diponegoro, juga pernah ke sana.
Yang sering datang Prof. Dahana. Setahu saya Pak Dahana adalah guru besar Sinologi di FIB UI. Ia pernah pula menjadi wartawan. "Malah saya dikasih banyak disertasi," kata Pak Harianto.
Pak Harianto mengumpulkan buku sejak umur 7 tahun. Kini usianya 70 tahun. Sejak kecil ia gemar membaca. Ia pernah bekerja di toko buku. Waktu senggang ia gunakan untuk melihat-lihat isi buku. Kalau isinya dianggap menarik, ia beli buku itu.
Berkat buku ia dikenal di mancanegara. Banyak koleganya di banyak negara sering minta dikopikan beberapa literatur langka. Pak Harianto pun sering mendapat kopian literatur dari para koleganya itu.
Selain berburu sendiri, Pak Harianto memperoleh buku dari temannya. Biasanya hasil kompensasi karena temannya itu meninggal dunia dan tidak ada yang merawat bukunya.
Kalau ada buku-buku tua yang sulit diselamatkan, biasanya Pak Harianto men-scan atau memfoto buku tersebut. Setelah itu dicetak dan dijilid.Â
Menurut Pak Harianto, koleksi buku-bukunya terbuka bagi siapa saja, baik untuk mahasiswa yang menulis skripsi maupun tesis atau disertasi. Informasi di Museum Hakka TMII, sebagian berasal dari koleksi Pak Harianto.
"Saya belum tahu what next terhadap buku-buku itu," katanya. Memelihara atau melestarikan memang amat sulit daripada mengumpulkan. Syukur-syukur ada keluarga yang berminat. Pak Harianto sendiri memiliki dua anak, sekarang mereka tinggal di mancanegara.
Kita harapkan ada lembaga penampungan nantinya. Jadi harta karun ilmu pengetahuan itu tetap terselamatkan untuk dipakai dari generasi ke generasi. Jangan jatuh ke tangan pedagang yang cuma mementingkan faktor komersial.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H