Kelompok Pecinta dan Pemerhati Budaya Nusantara (Kecapi Batara) bikin hajatan berupa Diskusi Publik "Peran Tionghoa dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Nasionalisme". Kegiatan itu diselenggarakan pada Sabtu (2 Juni 2018) kemarin. Tiga pembicara tampil dalam kegiatan tersebut, yakni Didi Kwartanada, Restu Gunawan, dan Christianto Wibisono.
Didi Kwartanada dan Restu Gunawan merupakan dua sejarawan. Saat ini mereka aktif di kepengurusan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Christianto Wibisono dikenal sebagai pengamat dan pemerhati ekonomi. Ia pernah berprofesi jurnalis.
Didi Kwartanada menjadi pembicara pertama. Ia menyinggung Indonesia darurat kebhinnekaan, terlihat ketika berbagai elemen saling mencurigai dan mencaci. Ia mengutip pula pernyataan penulis Arab "ketidaktahuan adalah pangkal kebencian".
Menurut Didi, pada masa kolonial (1854) pemerintah yang berkuasa menggolongkan penduduk menjadi tiga, yakni Eropa, Timur Asing (Tionghoa, India, Arab), dan pribumi. Akibat penggolongan ini maka terjadi perbedaan atau kelas dalam masyarakat dalam berbagai kehidupan sosial.
Peran Tionghoa sendiri, kata Didi, sebenarnya cukup besar. Dalam Sumpah Pemuda 1928, misalnya, media yang berani memuat partitur lagu Indonesia Raya adalah Sin Po.
Sin Po sendiri adalah koran milik orang Tionghoa. W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, menjadi salah seorang koresponden di harian itu.
Pada 1932 Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, diikuti koran bernama Harian Sin Po. Berkat korannya, Liem mampu memengaruhi etnis Arab dengan A.R. Baswedan sebagai tokohnya.
Baswedan sendiri juga pernah bekerja di koran milik Liem. "Silakan pakai koran saya untuk menghantam musuh-musuhmu," kata Liem kepada Baswedan. Pada 1934 Baswedan mendirikan Persatuan Arab Indonesia.
Didi juga mencatat ada empat orang Tionghoa yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yakni  Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Keempat nama ini selama bertahun-tahun tercatat dalam buku-buku sejarah.
Namun hanya dalam masa Orde Baru keempat nama tadi dihilangkan. "Ini bisa dilihat di buku Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran dan Indonesia dalam Arus Sejarah," jelas Didi.
"Alergi" kepada Tionghoa terus berlanjut. Ketika Slametmuljana menulis buku yang mengatakan para wali merupakan orang Tionghoa, timbul kontroversi. Bahkan bukunya pernah dilarang pemerintah Orde Baru.
Hubungan Tionghoa dengan Nusantara sebenarnya sudah tercatat dalam laporan Yijing (baca: Icing) abad ke-7. Menurut Restu, pengaruh Tionghoa sangat kuat dalam peradaban selatan. Ini terlihat dari nama Laut Tiongkok Selatan.
Selama masa revolusi, kata Restu, orang-orang Tionghoa berperan dalam pola perdagangan unik, yaitu pasar gelap. Mereka melakukan bisnis emas hitam atau opium. Opium itu berasal dari Persia dan Turki. Setelah diolah, dibawa ke luar negeri lagi lewat Yogyakarta. Opium itu dibarter dengan senjata dan hasil bumi. Â Dalam hal ini tentu saja para pedagang Tionghoa bekerja sama dengan pejuang republik.
Salah seorang Tionghoa yang dikenal sebagai raja penyelundup adalah Laksamana John Lie. Ia mampu menembus blokade Belanda. Karena keberanian dan jasa buat pemerintah Indonesia, John Lie diangkat jadi pahlawan nasional.
Christianto Wibisono menyoroti masalah penguasa dan pengusaha. Soeharto dikatakan berkolaborasi dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Lalu Benny Moerdani dengan William Soerjadjaja dan Ali Sadikin dengan Jan Darmadi.
Christianto juga mengatakan hingga saat ini ada sejumlah menteri yang berasal dari etnis Tionghoa, antara lain Tan Po Gwan, Siaw Giok Tjhan, Oey Eng Die, Oey Tjoe Tat, Bob Hasan, Kwik Kian Gie, Marie E. Pangestu, dan Ignasius Jonan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H