Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Undang-Undang "Paradara" Masa Jawa Kuna Melindungi Kaum Perempuan

26 April 2018   22:51 Diperbarui: 27 April 2018   14:31 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni pertunjukan jalanan oleh laki-laki dan perempuan (Foto: Titi Surti Nastiti)

 "Pada masa Majapahit selain pejabat kehakiman yang  disebut dharmmopapatti,  ada semacam Dewan Pertimbangan Kerajaan (bhatara saptaprabhu) yang beranggotakan keluarga kerajaan. Pada masa Hayam Wuruk memerintah yang menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Kerajaan adalah raja, ayah-bunda raja, paman-bibi raja, dua adik perempuan raja beserta suaminya," demikian Titi.

Bangunan suci

Pasangan suami istri, sebagaimana dinyatakan Prasasti Taji (901 M), disebutkan pernah membebaskan atau membeli tanah untuk keperluan suatu bangunan suci. Di dalam dunia seni, terutama seni pertunjukan, laki-laki dan perempuan pada masa Jawa Kuna telah mempertunjukkan keahlian mereka di depan penonton atau di jalanan. Gambaran yang jelas terdapat dalam relief Candi Borobudur. Dulu kesenian menjadi sumber penghasilan yang dikenai pajak.

Untuk melindungi kaum perempuan, menurut Titi, telah ada undang-undang paradara. Prasasti Bendosari dan Parung menyebutkan masyarakat Jawa Kuna telah mempunyai hukum adat yang dijadikan dasar pertimbangan, selain kitab hukum.

Ibu jari

Diskusi berlangsung menarik. Titi menceritakan pengalamannya di mancanegara. Ketika itu seorang ketua jurusan perempuan harus membuatkan kopi untuk teman-teman sejawatnya. Di sana memang masih berprinsip his-story. Sebaliknya di Indonesia yang dihormati justru perempuan sebagaimana terdapat dalam kata-kata ibu jari, ibu kota, dan sebagainya.

Mengikuti diskusi tersebut, tentu ada kesan seru, menambah pengetahuan, dan mencerdaskan. Terima kasih untuk Kang Mumun (Munawar Holil) dan Kang Adit (Aditia Gunawan) dari Manassa.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun