Mendengar nama Mangunsarkoro, mungkin yang ada di pikiran kita adalah nama jalan. Jalan Mangunsarkoro memang ada di beberapa kota di Jawa, bahkan Sumatera. Pasti banyak yang belum tahu kalau Mangunsarkoro merupakan pahlawan nasional. Penetapan Mangunsarkoro sebagai Pahlawan Nasional dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 lalu.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro, begitulah nama lengkap beliau, lahir di Surakarta pada 23 Mei 1904. Beliau wafat di Jakarta pada 8 Juni 1957. Demikian diutarakan salah seorang cucunya, Anik R. Yudhastawa Mangunsarkoro, dalam diskusi di Museum Sumpah Pemuda, Rabu, 11 April 2018.
Diskusi menghadirkan pula Rushdy Hoesein, dokter yang dikenal sebagai sejarawan. Uraian dari Anik dan Rushdy jelas saling mendukung. "Hasil diskusi menjadi acuan untuk penyelenggaraan pameran," kata Kepala Museum Sumpah Pemuda, Huriyati. Kegiatan diskusi tokoh Sarmidi Mangunsarkoro dibuka oleh Kepala Subdit Permuseuman, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Dedah R. Sri Handari.
Mangunsarkoro dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda. Pada 1926 beliau menjadi Ketua Jong Java Afdelling Yogya. Pada 1927 beliau mendirikan "Pemuda Indonesia" Cabang Yogyakarta. Selanjutnya beliau menjadi pembicara dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada 28 Oktober 1928.
Mangunsarkoro banyak bergerak di bidang pendidikan (1929-1940). Antara lain mendirikan Taman Siswa Jakarta dan anggota Kepanduan Bangsa Indonesia. Di sisi lain, beliau sangat tidak disukai Belanda karena menentang perundingan Linggarjati dan Renville. Menurutnya, kedua perundingan hanyalah taktik Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.
Akibatnya pada 1947-1948, Mangunsarkoro ditangkap Belanda. Beliau dipenjarakan di Wirogunan, Yogyakarta. Pada zaman revolusi fisik itu Mangunsarkoro menjadi kurir penghubung gerilyawan sekitar Yogyakarta. Beliau menyamar sebagai pedagang ubi kayu dengan bersepeda.
Suatu ketika rumahnya di Jalan Notowinatan 60 didatangi Belanda. Mereka bermaksud menembaki Mangunsarkoro, namun peluru menyasar di tembok. Mangunsarkoro berhasil selamat karena sempat melarikan diri dari pintu belakang.
"Sayang karena rumah sewaan, bukti-bukti otentiknya sudah tidak terlihat lagi. Sekarang rumah itu jadi sekolah," kata Anik.
Pada 1949-1950 Mangunsarkoro menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Salah satu gagasannya mendirikan Pendidikan Luar Sekolah. Bahkan menyusun dan memperjuangkan undang-undang pendidikan di parlemen. Produknya adalah UU Pendidikan No. 4/1950, tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah sebagai UU pendidikan RI pertama.
Terungkap dari cerita Anik, pada saat sidang Konstituante di Bandung (1957), Mangunsarkoro pulang ke Jakarta naik mobil. Beliau tidak punya uang untuk naik pesawat. Pada zaman itu, pemimpin membiayai sendiri kegiatan karena keuangan negara terbatas.
Yang unik, waktu dilantik menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Mangunsarkoro sengaja memakai sarung, peci, dan jas karena dianggap lambang kenasionalan dan kerakyatan. Karena itu beliau dikenal dengan sebutan "Mangun Sarungan".
Kemampuan menulis
Rushdy Hoesein, pemateri lain, sangat kagum dengan kemampuan menulis Mangunsarkoro. "Saya sih paling nggak bisa nulis. Paling nulis di Facebook," kata Rushdy.
Pada diskusi terungkap bahwa Ketua Kongres Pemuda 27-28 Oktober 1928, Soegondo Djojopoespito, belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pernah beberapa kali diajukan tetapi selalu gagal. Soalnya, dokumentasi tentang Soegondo masih langka.
Dulu di bawah tekanan Belanda memang segala kegiatan diawasi ketat, termasuk soal foto. Apalagi waktu itu keberadaan fotografi masih terbatas. Semoga ada pertimbangan lain soal Soegondo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H