Generasi sekarang sering kali menganggap Soetta sebagai nama satu orang. Begitu juga Soekarno-Hatta, yang merupakan kepanjangan Soetta. Untuk itulah kesadaran sejarah generasi muda harus ditingkatkan. Demikian kata Direktur Sejarah Kemdikbud Triana Wulandari dalam seminar bertajuk "Penelusuran Sejarah Peradaban Jakarta" di Jakarta, 4 April 2018.
Triana menyajikan makalah tentang "Kebijakan Penulisan Sejarah, Periodesasi Sejarah, dan Muatan Lokal". Menurut pengalamannya ternyata banyak anak tidak paham sejarah Jakarta. Nah karena itulah instansinya memberikan fasilitasi sejarah untuk individu atau komunitas di seluruh Indonesia.
Kebijakan tersebut didasarkan atas peraturan menteri. Segala informasi bisa dilihat di laman Direktorat Sejarah Kemdikbud, di antaranya Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas bagi Penulis Sejarah di beberapa daerah.
Arsip
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Dr. Tinia Budiati, dalam pembukaan acara, mengatakan pentingnya penelusuran sejarah pemerintahan di DKI Jakarta. Dulu, katanya, pada zaman Ali Sadikin pernah ada buku Gita Jaya yang berlanjut pada masa sesudahnya. Sementara dari arsip masyarakat akan tahu bahwa proyek reklamasi merupakan kesinambungan. Arsip tentang pemerintahan di DKI Jakarta tersimpan di Dinas Perpustakaan dan Arsip.
Tinia berharap seminar harus terfokus pada sebuah masalah supaya jangan mengulang. Soalnya, menurut pengamatan Tinia, penulisan atau penelitian selama ini hanya bersifat copy paste. Diharapkan, hasil rekomendasi seminar akan berharga buat masyarakat dan pemerintahan.
Turut berbicara dalam seminar sejarawan Dr. Moh. Iskandar. Pensiunan dosen UI ini mempertanyakan apa yang dituju seminar, peradaban Jakarta atau peradaban Betawi? Soalnya kedua peradaban itu berbeda. Bahasa Betawi, misalnya, masih bisa ditemui di luar Jakarta seperti Depok dan Bekasi. Kalau mengambil Jakarta, apakah yang disebut titik nol itu pusat peradaban.
Selanjutnya Muhadjir, tokoh bahasa Betawi menyinggung bahasa Betawi dan di kota dan daerah pinggiran. Bahkan bahasa Betawi telah menyebar ke luar Jakarta. Jelas, ini karena banyaknya pendatang yang kemudian membawa dialek Betawi ke daerah masing-masing.
Soedarmadji Damais mengatakan, sepengetahuan dia yang mengangkat kebudayaan Betawi justru bukan orang asli Betawi. Gubernur Ali Sadikin yang berasal dari Sunda, misalnya sukses menyelenggarakan None dan Abang Jakarta. "Nah ini menarik kenapa bukan Betawi," kata Adji, panggilan akrab Soedarmadji. Ia mengemukakan pula kalau lenong dipopulerkan oleh Djaduk Djajakusuma yang juga orang Sunda.
Dalam kesempatan itu seorang guru menyampaikan uneg-uneg. Ia mengatakan banyak sekolah melarang memungut biaya untuk mengunjungi situs-situs bersejarah termasuk museum. Nah, bagaimana anak-anak kita bisa mengenal sejarah bangsa, kata dia. Memang perlu ada perubahan peraturan.
Beberapa guru sejarah malah mempertanyakan kegiatan ini selanjutnya mau dibawa ke mana. Kalau Direktorat Sejarah pernah menghasilkan buku Indonesia dalam Arus Sejarah. Semoga kegiatan ini menghasilkan buku resmi tentang Sejarah Jakarta.
Tinia Budiati mengatakan setelah kegiatan ini akan ada kegiatan selanjutnya. Ia meminta kegiatan diskusi terpumpun atau Focus Group Discussion (FGD), supaya persoalan mengerucut. FGD diikuti pakar-pakar tentang Jakarta.
Persoalan Jakarta memang pelik. Menurut pengamatan penulis, sisa-sisa masa lalu dari zaman prasejarah yang rata-rata terdapat di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, telah lenyap. Hanya sebagian yang bisa diselamatkan sebagaimana terlihat di Museum Sejarah Jakarta. Sisa-sisa dari masa Hindu-Buddha sedikit sekali tersisa karena banyak situs kuno sudah tertutup hutan beton.
Sejarah Jakarta pun masih diliputi kontroversi, meskipun sejak lama telah dirayakan pada 22 Juni. Masa lalu memang penuh misteri. Inilah yang harus dijawab supaya peninggalan-peninggalannya tetap lestari. Soetta dan Soekarno-Hatta saja tidak paham. Bagaimana mau menjadi bangsa yang besar yang katanya jas merah (jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H