Kamis, 22 Maret 2018 Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) komda Jabodetabek menyelenggarakan diskusi ilmiah tentang disertasi arkeologi yang dibuat pada periode 2015-2017. Â Diskusi seperti ini baru pertama kali diselenggarakan. Museum Nasional menjadi tempat penyelenggaraan diskusi. Kegiatan diawali sambutan Kepala Museum Nasional, Siswanto; Ketua Umum IAAI Pusat diwakili Ninie Susanti; dan Ketua IAAI Komda Jabodetabek, Dedah R. Sri Handari.
Diskusi berlangsung dalam tiga sesi. Sesi pertama, pagi hingga makan siang, menampilkan dua pembicara, yakni Junus Satrio Atmodjo dan Rr. Triwurjani dengan moderator Ingrid HE Pojoh. Setelah makan siang tampil St. Prabawa Dwi Putranto dengan moderator Fadjar Ibnu Thufail, dilanjutkan oleh Taqyuddin dan Andriyati Rahayu dengan moderator Sonny C. Wibisono.
Junus Satrio Atmodjo memaparkan "Lanskap Budaya Kawasan Pesisir Jambi Abad XI-XIII: Peran Masyarakat Kuno Memanfaatkan Rawa sebagai Permukiman yang Permanen". Penelitian Junus mengambil tempat di kawasan rawa pasang-surut pesisir Provinsi Jambi yang berhadapan dengan Laut Tiongkok Selatan. Menurut Junus, di kawasan itu terdapat lebih daripada 60 situs purbakala yang terletak relatif berdekatan. Situs-situs itu menempati dua jenis dataran, yaitu dataran kering berupa perbukitan rendah, perbukitan batu, dan tanggul-tanggul alam sepanjang sungai besar. Jenis dataran kedua berupa rawa pasang-surut bergambut yang hampir sepanjang tahun digenangi air.
Terdapatnya 60 situs purbakala di kawasan rawa pesisir tentu memunculkan pertanyaan, antara lain apa yang menyebabkan kawasan itu dipilih sebagai tempat tinggal dan bagaimana penghuni rawa di masa lalu berkontribusi menyebarkan komoditas perdagangan antarwilayah. Dalam penelitian itu Junus memperhatikan tiga persoalan, yaitu lingkungan rawa yang dipilih sebagai tempat tinggal, sistem pelayaran antarpermukiman di pedalaman dengan pesisir, dan tersebarnya artefak-artefak berusia abad XI-XIII di kawasan pantai Jambi.
Rr. Triwurjani menulis disertasi "Arca-Arca Megalitik Pasemah Sumatera Selatan: Kajian Semiotik". Persebaran  arca-arca megalitik yang luas dan berbentuk khas menjadikan kawasan Pasemah sebagai suatu kelompok budaya tersendiri. Menurut Triwurjani, penggambaran arca Pasemah tidak begitu natural tapi jelas menyiratkan individu manusia dengan komponen-komponen dasar seperti kepala, badan, tangan, dan kaki digambarkan jelas.
Sebaliknya penggambaran arca-arca itu tidak harafiah, seperti mata melotot, hidung datar, mulut bulat dan besar, bentuk bibir tebal, memakai pakaian prajurit, memakai perhiasan, membawa pedang, dan menunggang gajah atau kerbau.
Kajian itu menggunakan semiotik Roland Barthes lewat aspek denotasi dan konotasi. Denotasi adalah pemaknaan yang terlihat dalam tanda apa adanya sebagai sistem primer, sementara konotasi merupakan makna baru/khusus yang diberikan pemakai tanda sebagai sistem sekunder.
"Gambaran orang yang sudah meninggal dalam bentuk arca-arca ini , secara tidak langsung merupakan gambaran aktivitas masyarakat Pasemah ketika masih hidup.Kebudayaan Pasemah adalah suatu kebudayaan dimana kehidupan akhirat digambarkan di dunia," demikian Triwurjani.