Museum tanpa ada jejaring, komunitas, dan pemberdayaan masyarakat lokal diibaratkan sebuah kuburan tanpa batu nisan. Begitu kata seorang rekan yang beberapa tahun lalu pensiun dari sebuah museum.
Memang kata banyak orang, yang menghidupkan sebuah museum adalah komunitas. Sejak lama banyak komunitas beraktivitas di museum. Sampai sekarang ada komunitas yang aktif, ada pula yang kurang aktif, bahkan ada yang tinggal nama.
Mengingat pentingnya komunitas maka Selasa, 13 Maret 2018 lalu, Pak Yiyok T. Herlambang dari Museum Bank Indonesia menyelenggarakan acara silaturahim dan berbagi dengan sejumlah komunitas di Jakarta. Pak Yiyok adalah Ketua Paramita Jaya, yakni asosiasi museum di DKI Jakarta. Ia ditemani Pak Junanto Herdiawan atau biasa disapa Pak Iwan, dari Departemen Komunikasi Bank Indonesia.
Menurut Wikipedia, komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Salah satu contoh menurut KBBI, komunitas sastra, kelompok atau kumpulan orang yang meminati dan berkecimpung dalam bidang sastra, masyarakat sastra.
Yang berkaitan dengan museum, tentu saja amat beragam. Kegiatan jelajah museum bisa dilakukan di museum mana pun. Kegiatan membatik bisa meminjam ruangan museum. Kegiatan fotografi bisa mengambil objek koleksi museum dan diselenggarakan di dalam museum.
Nah, komunitas-komunitas itulah yang mengemukakan unek-unek pada kegiatan tersebut. Ada yang merasa dipersulit karena urusan birokrasi surat-menyurat. Ada yang mengeluhkan sewa ruangan yang tidak sesuai dengan kantong komunitas. Pokoknya, setiap komunitas memperkenalkan diri berikut aktivitas mereka.
Dari sejumlah komunitas itu, rata-rata bersifat tema tunggal. Artinya komunitas batik, yah berkenaan dengan batik. Komunitas onthel, berkenaan dengan sepeda. Jarang sekali komunitas yang bersifat tema ganda, yakni melakukan kegiatan dalam berbagai bidang yang berbeda.
Saya sendiri menjadi pembina Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI). Komunitas kami baru berdiri pada 4 Maret 2017. Para pengurus terdiri atas belasan orang atau para generasi muda zaman milenial.
Mereka rata-rata mahasiswa dan lulusan baru dari disiplin arkeologi, pendidikan sejarah, sejarah, dan bidang lain dari beberapa perguruan tinggi. Karena itu aktivitas kami bertema  Sepurmudaya (sejarah, purbakala, museum, budaya). Kami memiliki struktur organisasi, jadi ada pembagian tugas.
Sebagai komunitas yang bertema ganda, kami telah mengadakan berbagai kegiatan seperti Lokakarya Penulisan terkait Cagar Budaya dan Museum (di Museum Basoeki Abdullah), Lokakarya Pemandu Museum (di Museum Wayang), Peluncuran Komik dan Website (di Museum Nasional), Diskusi Budaya Tionghoa (di kelenteng Tanda Bhakti), Gerakan Literasi (kuis buku dan bagi-bagi buku untuk taman baca daerah), dan blusukan bangunan kuno/museum.
Pada tahun kedua ini kegiatan yang sudah kami rancang adalah Bedah Prasasti, Lokakarya Penulisan Tokoh, Lokakarya Pembuatan Komik, penulisan buku, dan pembuatan komik.
Dari pertemuan tersebut jelas Museum Bank Indonesia akan membuka diri supaya  komunitas, bisa berkegiatan di Museum Bank Indonesia. Semoga pihak MBI segera menyusun mekanisme atau SOP. Kepada komunitas pun kita berharap agar tetap menjaga kebersihan dan keamanan.
Dalam bidang apa pun memang kerja gotong royong selalu bermanfaat positif. Demikian pula dengan gotong royong Paramita Jaya, MBI, dan komunitas. Museum dan komunitas perlu kerja sama yang saling menguntungkan, atau istilah Pak Yiyok dan Pak Iwan berkolaborasi. Semoga diikuti oleh museum-museum lain, tidak hanya di Jakarta tapi juga di seluruh Indonesia.
Adanya komunitas, jelas memiliki banyak manfaat. Yang utama, sebagai media penyebaran informasi, apalagi di era digital lewat media sosial dan sebagainya. Juga menjalin hubungan dengan sesama anggota komunitas, komunitas lain, museum, dan pihak terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H