Kalau arkeolog sudah menjadi pensiunan, ada saja yang dilakukan untuk menjalin tali silaturahim. Bahkan untuk mengisi waktu senggang. Beberapa waktu lalu saya diajak Ekowati, pensiunan Museum Nasional jalan-jalan ke kawasan Pecinan di Glodok. Sebagai tuan rumah, Candrian, pensiunan Pemprov DKI Jakarta. Dalam kesempatan itu ikut pula Soni yang datang dari Bogor dan Berthold dari Bintaro. Satu lagi Lia, ia bukan arkeolog tetapi sering mengikuti acara-acara yang diikuti para arkeolog. Lia berusia paling muda, baru 30-an.
Sebagai tuan rumah, Candrian menjamu kami di Pancoran Tea House. Pertama kami disuguhi beberapa jenis teh. Ada teh yasmin, ada teh oolong, entah teh apa lagi. Bersamaan dengan itu keluar makanan kecil berupa dimsum. Baru terakhir makanan besar berupa nasi dan beberapa temannya.
Pancoran Tea House sudah berbentuk anggun. Jelas dikaitkan dengan kota tua Jakarta yang terus berbenah. Dulunya merupakan Apotek Chung Hwa, yang cukup terkenal di Batavia. Apotek ini didirikan pada 1928. Sebelum 2015, bangunan ini berada dalam kondisi hancur tidak terawat. Di sekitar gedung dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima. Pada Desember 2015 konsorsium kota tua Jakarta menyelesaikan revitalisasi gedung ini.
Dari Pancoran Tea House kami berenam menyusuri bangunan-bangunan tua di sekitar Jalan Kemenangan. Kelenteng Dharma Bhakti atau Jin De Yuan (Mandarin) atau Kim Tek Ie (Hokkian) yang pernah terbakar pada 2015, kami kunjungi. Terlihat masih ada sisa kekunoannya, terutama hiasan pada dinding. Pada bagian belakang kami lihat banyak orang bersembahyang. Bangunan inti yang terbakar tampak ditutup rapat.
Panitia pemugaran wihara sebenarnya sudah ada. Tentu prosesnya cukup panjang karena menyangkut kajian, perizinan, dan dana. Gambar dan denah rencana pembangunan ada di bagian kiri depan.
Dari Jin De Yuan, kami menuju Gereja Santa Maria de Fatima. Tadinya rumah seorang petinggi Tionghoa di Pecinan. Untuk mengetahui sejarahnya silakan cari di buku-buku sejarah atau bisa juga lewat internet. Sebagai arkeolog, kami mengamati fisik bangunan tersebut. Kayu-kayunya masih kekar, mungkin karena berbahan jati tua. Hanya di bagian-bagian lain tampak kayu-kayunya sudah kena rayap. Agak lapuk pada bagian tertentu.
Memang sebetulnya bangunan itu sudah harus dipugar. Pernah ada kajian oleh arsitek yang kabarnya memakan biaya ratusan juta rupiah. Entah mengapa belum juga dipugar. Sampai kini gereja tersebut masih digunakan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Mandarin.
Ada wacana bangunan itu akan diperluas. Maklum, umat gereja ini semakin banyak. Namun mengingat statusnya sebagai cagar budaya, tentu memerlukan perlakuan khusus.
Satu kelenteng lagi yang kami kunjungi Toa Se Bio. Ukuran kelenteng ini lebih kecil daripada Jin De Yuan.
Usai blusukan, saatnya kulineran kembali. Â Kali ini ke Gang Kalimati. Banyak pedagang makanan di lokasi tersebut. Namun yang kami tuju adalah restoran yang berusia cukup tua, namanya Lao Hue. Sebenarnya saya sudah beberapa kali ke sini. Namun kedua teman saya, Ekowati dan Soni, belum pernah. Di restoran ini kami memesan laksa, mie belitung, liang teh, cempedak goreng, dan sarsaparila cap badak. Sarsaparila ini buatan Pematang Siantar, sekarang cukup susah dijumpai di Jakarta.
Ketika para arkeolog blusukan dan kulineran, begitulah. Tentu saja blusukan dan kulineran mendatang tetap di wilayah Pecinan. Bahkan Candrian akan bercukur di tempat tradisional yang memang masih ada. Ayo siapa yang mau ikut?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H