Sejak beberapa tahun lalu saya banyak menerima surat elektronik dari masyarakat awam. Isi utamanya ingin menjual "uang kuno" untuk berbagai keperluan seperti membangun rumah, biaya sekolah, dan pengobatan. Saya minta kepada mereka untuk mengirimkan foto.
Saya sendiri memang senang berkoleksi mata uang, yang dalam bahasa keren disebut numismatik. Terus terang saya hanya mengisi waktu senggang. Koleksi saya tidak ada yang istimewa. Biasa-biasa saja kok.
Setelah saya menerima foto dan mereka menyebutkan harga, saya hanya bisa berkata "wow". Bayangkan, kondisi mata uang---baik uang kertas maupun uang logam---tersebut, tergolong "busuk". "Ini peninggalan nenek saya," kata yang seorang. Dihitung umurnya, uang tersebut baru berusia 20-an tahun. Mungkin agar berharga tinggi, dia menyebut "uang kuno". Â
"Sebenarnya saya sayang melepas uang ini. Buat perkenalan cukup dimaharkan 1,5 juta," kata dia. Ada lagi yang menawarkan uang kertas dengan nomor seri 888888 tapi ada tanda-tanda laminating. "Kalau bapak mau 80 juta saya jual," tulis dia. Saya maklum, mereka kurang mengerti akan kondisi dan harga koleksi. Pasti mereka lihat-lihat di internet karena koleksi dan harga yang ditawarkan di luar akal sehat. Mereka jelas terpedaya, seolah uang yang tidak berlaku lagi atau uang unik berharga jutaan rupiah.
Ditertawakan kolektor
Ketika saya posting di Facebook, saya ditertawakan banyak kolektor. Harga yang ditawarkan masyarakat awam itu jelas sangat tinggi. Â Di mata kolektor atau numismatis ada patokan harga sesuai tingkat kondisi sebuah koleksi. Semua data atau spesifikasi koleksi termasuk harga terdapat dalam buku induk yang disebut katalogus. Selama ini beberapa kolektor telah menyusun beberapa katalogus, antara lain Katalog Uang Kertas Indonesia (KUKI) dan Oeang Nusantara (ON).
Sekadar gambaran, uang kertas masa pasca kemerdekaan berbeda penilaian dengan uang kertas masa kolonial. Yang lebih spesifik adalah penilaian terhadap uang kertas masa revolusi fisik 1947-1949. Uang ini dikenal sebagai URIDA (Uang Republik Indonesia Daerah).
Karena negara dalam kondisi darurat---maklum  ada Agresi Militer 1 dan 2---maka  setiap kabupaten, karesidenan, dan kawedanaan, diperkenankan membuat alat pembayaran sendiri. Alat pembayaran tersebut terbuat dari kertas sederhana, seperti kertas tulis dan kertas roti.
Di mata para kolektor profesional, keberadaan grade sangat penting. Si penjual cukup menyebutkan grade koleksi yang akan dijual. Jadi meskipun tidak bertatap muka, ada saling pengertian. Harga akan sesuai grade.
Bahkan di mata profesional, ada yang disebut PMG (Paper Money Guarantee). Untuk mendapatkan angka PMG, koleksi dibawa ke Singapura. Tingkat penilaian 0 sampai 72. Jadi misalnya, koleksi yang sama dengan skor PMG 65 berharga jual lebih tinggi dari skor 50. Skor menunjukkan grade koleksi tersebut.
Kaya mendadak
Kembali ke masalah koleksi, ada masyarakat awam yang menawarkan koleksi uang kertas seratus rupiah bergambar perahu. Mau tahu harga yang dia tawarkan? Rp1,5 juta sebagaimana saya sebutkan di atas. Mau tahu kondisi uang kertas tersebut? Hampir sama dengan gambar terjelek dalam foto ini. Hehehe...kalau benar segitu koleksi saya dulu yang saya jual. Saya bisa kaya mendadak.
Konyolnya si wartawan hanya mengutip pernyataan si "kolektor" yang koleksinya terjual jutaan rupiah. Entah benar atau tidak cerita si "kolektor". Kalau benar, begitu bodohnya si pembeli. Kalau tidak benar, tentu akan "mencederai" koleksi numismatik. Tantangan menghadapi masyarakat awam cukup berat. Para kolektor perlu turun tangan untuk memberi pemahaman soal ketidakmengertian masyarakat awam itu.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H