Kecerdasan saja tidaklah cukup. Kecerdasan ditambah karakter merupakan tujuan pendidikan abadi. Begitulah kata Martin Luther King Jr. Museum Kebangkitan Nasional, Kamis, 30 November 2017 menyelenggarakan diskusi bertopik "Pendidikan Karakter di Museum". Tampil sebagai pembicara Dr. Dyah Chitraria Liestyati dan Prof. Dr. Agus Aris Munandar. Diskusi dihadiri 30-an guru di Jakarta. Kegiatan dibuka oleh Kepala Museum Kebangkitan Nasional, R. Tjahjopurnomo.
Disebutkan bahwa pendidikan dasar bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa; berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; sehat, mandiri, dan percaya diri; serta toleran, peka sosial, demokratis dan bertanggung jawab. "Jelas bahwa tujuan pendidikan di setiap jenjang sangat diarahkan pada pembentukan karakter bagi peserta didik," demikian Chitraria.
Pembentukan karakter, menurut Chitraria, terjadi pada usia antara 0-6 tahun. Pada masa ini otak berkembang sangat cepat hingga 80 persen. "Pada usia dini inilah, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku kita sebagai orang tua dan dari lingkungan sekitarnya," kata Chitraria.
Pendidikan karakter antara lain terdapat di dalam kelas. Karena itu, menurut Chitraria, buatlah kelas supaya jangan kaku tapi menyenangkan. Soalnya pendidikan karakter harus dari dua sisi atau interaktif. Dalam hal ini peran guru amat dituntut. "Apakah bapak/ibu kalau tidak diundang mau datang ke museum?" demikian Chitraria mempertanyakan.
Kenapa orang luar negeri kalau ke Indonesia mencari museum? Karena gambaran manusia Indonesia ada di museum. Begitu kata Chitraria.
Museum berkembang karena adanya empat komponen, yaitu benda koleksi, narasi koleksi, para pengelola, dan masyarakat yang mengapresiasi museum. Ada dua hal lagi yang berkaitan erat dengan permuseuman, yakni gedung dan penataan secara fisik.
Menurut Agus Aris Munandar, di dalam museum tersimpan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan masa lalu. Melalui lembaga-lembaga museum memungkinkan suatu bangsa menelisik akar dalam perkembangan sejarahnya yang jauh lebih dalam, mengacu kepada masa yang jauh lebih tua daripada yang dapat dikemukakan lewat dokumen-dokumen tertulis.
"Cukup banyak bukti berkenaan dengan warisan budaya yang berupa artefak, monumen, dan bukti pencapaian peradaban lain yang sejatinya adalah jatidiri bangsa," kata Agus.
Semua itu tersaji dalam koleksi museum. Museum sendiri bertujuan untuk mampu menanamkan karakter positif kepada masyarakat pengunjung. "Penanaman karakter di museum niscaya akan terjadi apabila dilakukan tiga hal. Pertama, kunjungan yang berulang ke suatu museum. Kedua, mampu mengamati dan mencerap nilai di balik koleksi yang dipamerkan. Ketiga, mampu melakukan pengendapan kognisi dalam pikiran dan sikap," demikian Agus.***