Gempa bumi cukup besar pernah melanda Bengkulu pada 2000 dan 2007. Peristiwa yang tidak disangka itu menyebabkan beberapa kerusakan pada koleksi keramik. Tentu saja amat disayangkan karena kita kehilangan koleksi berharga.
Sejak dua peristiwa tersebut, untuk berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk Museum Negeri Bengkulu membuat rak khusus untuk menempatkan barang tanah liat, terlebih yang berukuran cukup besar. Diharapkan rak itu mampu meminimalisasi kerusakan yang mungkin terjadi bila terjadi bencana.
Cerita tentang bencana yang pernah menimpa Museum Negeri Bengkulu saya peroleh dari Bapak Muhardi, seorang staf senior di museum tersebut. Saya sempat bertemu dengan Bapak Nirwan Sukandri, Kepala Museum Negeri Bengkulu.
Senin, 27 November 2017 penulis sempat berlama-lama di Museum Negeri Bengkulu. Begitu masuk pengunjung akan disuguhi cerita tentang ragam budaya di Bengkulu. Dari papan informasi diketahui ada sembilan kelompok penduduk asli, yakni Mukomuko, Pekal, Rejang, Lembak, Melayu Bengkulu, Serawai, Pasemah, Kaur, dan Enggano.
Naskah Ka-Ga-Nga cukup menarik dinikmati. Naskah kuno Bengkulu itu berisi hukum, adat, pengobatan, doa dan mantra, kisah/kejadian, tembo atau silsilah, rejung dan perambak bujang gadis, serta cerita rakyat. Sarana penulisannya berupa bambu, bilah bambu (gelumpai), rotan, kulit kayu, tanduk, batu, dan kertas. Aksara Ka-ga-nga merupakan turunan aksara Pallawa. Bahasa yang dipakai Rejang, Serawai, Melayu, Lembak, dan Pasemah.
Dulu aksara kuno itu dipakai oleh Suku Rejang. Usianya sudah ratusan tahun. Sampai kini terdapat ratusan naskah Ka-Ga-Nga yang sampai kepada kita. Dari jumlah itu, paling-paling baru belasan yang sudah diterjemahkan.
Koleksi maskot di museum ini adalah tongkat raja Bengkulu. Tongkat ini berupa replika. Koleksi asli terbuat dari bambu dengan kepala terbuat dari emas bermotif ular. Tongkat ini dihadiahkan oleh Raja Bengkulu kepada Residen Bengkulu, Yoseph Hoarloik Esquirre pada 1752. Pada 1993 Pemerintah Inggris menyerahkan tongkat ini kepada Gubernur Bengkulu, Razie Yahya.
Tongkat itu pernah dinyatakan hilang. Namun kemudian ditemukan kembali. Nahas, bagian emasnya tidak ditemukan lagi. Demikian berita di kompas.com (13/05/2012) yang saya baca.
Pembangunan museum dimulai pada 1978 dan mulai dimanfaatkan pada 1980. Semula menempati lokasi sementara di belakang Benteng Marlborough.
Pada 3 Januari 1983 pindah ke lokasi baru di Jalan Pembangunan No. 08, Padang Harapan Bengkulu. Selanjutnya pada 31 Maret 1988 diresmikan menjadi Museum Negeri Provinsi Bengkulu. Nama ini bertahan cukup lama sebelum akhirnya berganti menjadi Museum Bengkulu (2001) dan Museum Negeri Bengkulu (2008). Museum Negeri Bengkulu memiliki 3.000-an koleksi.
Dari jumlah itu, baru sebagian yang dipamerkan. Selebihnya masih disimpan di dalam storageatau gudang museum. Saya diberi kesempatan melihat isi storage. Selain barang tanah liat sebagaimana saya sebutkan di atas, ada koleksi pakaian, anyaman, alat musik, miniatur rumah adat, dan naskah Ka-Ga-Nga.
Terus terang, merawat benda-benda masa lalu apalagi yang bersejarah, amat sulit. Tentu saja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus turun tangan. Kalau kurang perawatan, koleksi-koleksi tersebut bakal rusak sedikit demi sedikit.
Museum Negeri Bengkulu beralamat Jalan Pembangunan No. 08, Padang Harapan Bengkulu. Nomor kontak museum 0736-22098. Museum buka Selasa hingga Jumat pukul 08.00-16.00. Sabtu dan Minggu buka pukul 08.00-14.00. Karcis masuk museum cukup murah, yakni Rp3.000 (dewasa) dan Rp2.000 (anak-anak).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H