Kompleks percandian bukan hanya monopoli Jawa. Di Jambi juga ada kompleks sejenis. Namanya kompleks percandian Muaro Jambi. Berada di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, tidak jauh dari tepi Sungai Batanghari. Perhatian terhadap situs Muaro Jambi dimulai oleh Kapten Crooke (1824), Adam (1920), dan Schnitger (1936).
Menurut Bambang Budi Utomo dalam buku Candi Indonesia (Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Cet. 2, 2016), situs percandian Muaro Jambi mempunyai luas sekitar 11 kilometer persegi. Â Hingga kini terdapat 82 buah sisa bangunan bata. Sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo). Mengingat bahan itu rapuh, bahkan masih menjadi milik warga, belum semua sisa bangunan dapat dibuka untuk dipugar.
Candi-candi di kompleks Muaro Jambi, ada yang mengelompok, misalnya Candi Gumpung, Candi Tinggi, dan Candi Koto Mahligai. Sebagian berdiri terpisah-pisah, misalnya Candi Astano.
Situs Muaro Jambi merupakan sebuah kompleks percandian agama Buddha. Kemungkinan besar peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Pemugaran oleh Pemerintah Indonesia mulai dilakukan pada 1975. Dari sejumlah bangunan yang sudah dipugar, semua menunjukkan ciri Buddhisme. Ini diketahui dari lempeng-lempeng bertuliskan "vajra" pada beberapa candi. Tidak heran setiap tahun umat Buddha melakukan ritual Waisak di kompleks ini.
Temuan-temuan purbakala di sini cukup beragam. Ada manik-manik, benda logam, dan benda batu. Benda-benda itu berasal dari Persia, Tiongkok, dan India. Saya lihat banyak benda batu berupa arca dan umpak hasil temuan disimpan di Gedung Pusat Informasi Kawasan Percandian Muaro Jambi. Selain itu ada pecahan keramik, koin, dan bata bergambar.
Dalam kompleks percandian, terdapat pula beberapa tinggalan berciri Hinduisme. Â Saya mengunjungi beberapa candi, dibonceng sepeda motor oleh seorang juru pelihara. Ia sempat menunjukkan parit atau kanal kuno dan kolam tempat penampungan air. "Dulu air ini menjadi bagian dari ritual. Sayang di sisi-sisinya belum ditemukan tangga atau bagian-bagian lain," kata Pak Bujang, juru pelihara yang mengantar saya itu.
Berdasarkan informasi dari Prasasti Karang Berahi (abad ke-7), daerah Jambi (Melayu) telah diduduki oleh Sriwijaya. Seorang musafir Tiongkok yang datang ke Mo-lo-yeu (Malayu/Jambi) Â pada abad ke-7 mengatakan Melayu telah menjadi Sriwijaya.
Rupa-rupanya Muaro Jambi pernah berfungsi sebagai kampus agama Buddha. Pendeta Yi-jing (I-tsing) mengatakan sebelum ke Nalanda, sebaiknya kita belajar agama Buddha terlebih dulu di Sumatera. Nalanda merupakan kampus agama Buddha terbesar di India. Dalam Prasasti Nalanda diinformasikan sebuah wihara yang dibangun di Nalanda untuk para pelajar dari Sriwijaya dan Jawa.
Dr. Agus Widiatmoko, arkeolog yang meneliti Muaro Jambi mengatakan, saat Kerajaan Sriwijaya berjaya sekitar abad ke-8, mereka mengutus para mahasiswa untuk ke Universitas Nalanda. Kala itu Sriwijaya membangun 2.000 kamar dan satu perpustakaan untuk para mahasiswa di India.
Diperkirakan, saat ajaran Buddha di India mengalami kehancuran karena invasi dari negara lain, maka Universitas Nalanda berpindah ke Sumatera atau Muaro Jambi. Lulusan Muaro Jambi kemudian melakukan reformasi agama di Tibet.
Situs Percandian Muaro Jambi rupanya sedang dikembangkan menjadi tujuan wisata. Beberapa warung minum, makan, dan cenderamata terlihat di beberapa tempat. Fasilitas penyewaan sepeda pun tersedia di sana. Maklum kalau mau berkeliling jalan kaki, keberadaan sejumlah candi cukup jauh.
Namun perlu kita perhatikan, jangan sampai pariwisata malah merusak kelestarian candi. Sebaiknya pengunjung dilarang menaiki badan candi. Candi berbahan bata cukup rapuh. Bisa-bisa semakin aus tergerus alas kaki pengunjung.
Saya lihat banyak bata dikumpulkan di setiap halaman candi. Cukup memprihatinkan melihat kondisi itu. Tentu saja karena bata-batanya sudah pecah berkeping-keping, jadi sulit melakukan rekonstruksi.
Kita harapkan masyarakat akan mendukung pekerjaan pelestarian. Jika temuan sudah semakin banyak, tentu saja penduduk yang tinggal di sana perlu dipindahkan secara manusiawi. Jangan sampai seperti kondisi di Trowulan. Bata-batanya habis diambili penduduk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H