Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tulisan Populer tentang Arkeologi untuk Menumbuhkan Apresiasi Masyarakat

12 November 2017   07:59 Diperbarui: 12 November 2017   08:43 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada berbagai kegiatan yang dilaksanakan arkeologi. Semuanya tidak dapat berdiri sendiri, tapi harus bergandengan tangan.

Awalnya berupa PENDIDIKAN. Di Indonesia pendidikan arkeologi dilaksanakan sejak 1940 saat berdiri Fakultas Sastra dan Filsafat di Jakarta. Lulusan arkeologi pertama dihasilkan pada 1952. Saat ini ada empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menyelenggarakan Program Studi Arkeologi, yakni UI, UGM, UNUD, dan UNHAS. Baru beberapa tahun lalu dibuka lagi di UNJA dan UNHALU.

Lepas dari dunia pendidikan, lulusan arkeologi mulai bekerja. Saat ini ada dua instansi yang banyak menampung lulusan arkeologi. Di pusat ada Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit. PCBM) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Dit. PCBM  bergerak di bidang PELESTARIAN. Instansi ini memiliki 14 Satuan Kerja di berbagai provinsi dengan nama Balai Pelestarian Cagar Budaya. Masing-masing Satuan Kerja memiliki satu atau lebih wilayah kerja. Sementara Puslit Arkenas bergerak di bidang PENELITIAN. Instansi ini pun memiliki sejumlah Satuan Kerja dengan nama Balai Arkeologi.

Museum dan dinas

Di luar itu sejumlah instansi juga menampung lulusan arkeologi. Yang terbanyak adalah museum. Selanjutnya dinas terkait, umumnya dinas kebudayaan di seluruh provinsi. Lulusan arkeologi juga bisa memasuki Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sejumlah dinas, kepolisian, dan bea cukai. Instansi-instansi ini boleh dikatakan PENDUKUNG instansi arkeologi.

Kalau sudah ada pendidikan, penelitian, pelestarian, dan pendukung, apakah sudah cukup? Tentu saja belum. Sejak lama kita sering dengar atau membaca berita tentang penemuan tidak disengaja ketika penggarap tanah sedang bekerja. Di sejumlah tempat kita dengar adanya pencurian, penggalian liar, dan pengrusakan tinggalan lama. Instansi arkeologi jelas kewalahan melakukan pengawasan. Jumlah tenaga yang ada tidak sebanding dengan luasnya lahan, meskipun sesungguhnya banyak lulusan arkeologi tidak tertampung di instansi-instansi arkeologi karena keterbatasan anggaran pemerintah.

Komunitas dan dana pribadi

Sudah tentu kita perlu tenaga PENGAWAS, kalau boleh disebut demikian. Tenaga pengawas berasal dari masyarakat sekitar. Apalagi sejak lama banyak tumbuh komunitas pelestari sejarah dan budaya atau berkecimpung di bidang heritage. Mereka sering blusukan ke berbagai tinggalan purbakala. Bahkan bukan hanya itu, mereka secara rutin melestarikan kebudayaan Nusantara dalam bentuk sinau aksara Jawa Kuno.

Kalau di bidang pendidikan, penelitian, penelitian, dan pendukung boleh dikatakan tidak terkendala dana karena menggunakan APBN atau APBD, tidaklah demikian dengan pengawas. Rata-rata menggunakan dana pribadi dengan istilah bantingan (patungan). Termasuk untuk membuat papan nama cagar budaya di berbagai tempat.

Publikasi arkeologi dan museum dalam bentuk tercetak (Dokpri)
Publikasi arkeologi dan museum dalam bentuk tercetak (Dokpri)
Cukupkah dengan tenaga pengawas? Masih belum. Percuma saja ada penemuan-penemuan spektakuler atau kegiatan-kegiatan besar kalau tidak diinformasikan. Biarlah tulisan-tulisan ilmiah milik para pendidik atau peneliti. Dengan  dimuat pada jurnal-jurnal ilmiah nasional dan internasional, mereka akan mendapatkan honorarium dan angka kredit. Namun tulisan ilmiah dalam jurnal boleh dibilang "dari arkeologi untuk arkeologi". Jadi kurang bisa dipahami masyarakat awam.

Bagaimana agar bersifat "dari arkeologi untuk masyarakat", tentu saja dibutuhkan tulisan ilmiah populer atau tulisan populer, dengan bahasa gaul, tidak dipenuhi istilah teknis, dan tulisan tidak panjang. Tulisan ilmiah populer sebaiknya dilakukan para arkeolog sendiri, terutama yang bekerja di instansi-instansi arkeologi karena mereka paling tahu setiap kegiatan. Sayang ini masih sangat jarang dilakukan karena kekurangmampuan para arkeolog sendiri. Padahal setiap instansi arkeologi umumnya sudah memiliki laman sendiri.

Sebaliknya kita sering lihat tulisan populer oleh para wartawan atau bloger. Apalagi sejak beberapa tahun lalu tumbuh platform blog seperti Kompasiana (milik Kompas) dan Indonesiana (milik Tempo).

Meskipun menulis di blog publik dan blog pribadi tidak ada honorarium, namun masyarakat awam kerap menulis tentang berbagai kepurbakalaan. Terus terang ini sangat membanggakan. Jadi sangat membantu pihak arkeologi. Nah, PUBLIKATOR seperti ini harus menjadi mitra instansi-instansi arkeologi.

Menulis (ilmiah) populer pasti bermanfaat. Seorang rekan, Berthold Sinaulan, mengatakan, "Agar tinggalan masa lalu bisa dimengerti masyarakat luas yang pada gilirannya menumbuhkan apresiasi masyarakat untuk membantu melestarikan tinggalan-tinggalan yang ada dan memanfaatkannya untuk kemajuan umat manusia".  Demikian nasihatnya untuk beberapa mahasiswa arkeologi UI.

Beberapa lulusan arkeologi juga bergerak di bidang SWASTA. Mereka menjadi pihak penyelenggara berbagai kegiatan, seperti pameran dan seminar. Tentu saja bekerja sama dengan berbagai instansi, jadi menggunakan dana APBN atau APBD.  

Sudah saatnya arkeolog dan masyarakat yang termasuk kategori pengawas, publikator, dan swasta menjadi mitra instansi-instansi arkeologi. Meskipun berada pada urutan terakhir dari tugas arkeologi, yakni mempublikasikan hasil kegiatan arkeologi untuk kepentingan umum, ketiganya berperan penting. Publikasi memiliki beberapa jenis rupa, yaitu tercetak (tulisan), terekam (video), dan terpampang (pameran). Bayangkan apa jadinya kalau tidak ada yang mau menulis tentang arkeologi. Bayangkan juga kalau tidak ada film arkeologi dan pameran.*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun