Kamis, 9 November 2017 saya berkesempatan mengikuti kuliah umum tentang "Tekstil dan Teks Sunda Kuno" di gedung baru Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI. Dulu gedung Perpusnas berada di Jalan Salemba Raya, tapi sejak September 2017 lalu pindah ke Jalan Medan Merdeka Selatan. Materi diberikan oleh Aditia Gunawan, seorang filolog muda di Perpusnas. Ia menekuni Bahasa Sunda Kuno yang telah menjadi bahasa mati, artinya tidak dituturkan lagi oleh masyarakat "zaman now", begitu kalau menggunakan istilah zaman milenial.
Aditia banyak menyoroti istilah tenun dan menenun, terutama dari kisah-kisah lama seperti legenda Sang Kuriang. Pada legenda itu, si tokoh utama Dayang Sumbi sering dikatakan "sedang menenun". Legenda Sang Kuriang, menurut Aditia, setidaknya telah dikenal pada abad ke-15.
Seorang pengelana Bujangga Manik menyebutkan "Gunung Pategang" dan "tanda peringatan Sang Kuriang". Dari informasi ini, Aditia menafsirkan tradisi tenun berusia lebih tua dari abad ke-15. Dari Aditia saya baru tahu kalau Naskah Bujangga Manik menjadi satu-satunya sumber sejarah tertua tentang tenun. Ironisnya, naskah tersebut tersimpan di Inggris, tepatnya di Oxford.
Dalam masa yang lebih muda, kata tenun atau menenun dikenal dalam idiom atau peribahasa. Aditia memberi contoh menenun kota, mengolah negara yang identik dengan mengatur pemerintahan. Ada lagi "saling menenun tangan" yang bermakna solidaritas.
Menurut Aditia, masalah tenun pernah dibicarakan oleh Pleyte pada awal abad ke-20. Diketahui ada empat jenis alat tenun yang dipakai, yang kemungkinan menunjukkan status sosial si penenun.
Pada masa Sunda Kuno dikenal beberapa jenis tekstil yang ditenun, antara lain tapih (kain bawahan), boeh (kain untuk mayat semacam katun), sutra (kain impor), aben (kemben), poleng (kain bercorak kotak-kotak), simbut (selimut atau pakaian tidur), dan daluwang (kain dari kulit kayu).
Zaman dulu, menenun memang didominasi kaum perempuan. Bahkan kalau hendak menenun, para perempuan itu harus membersihkan diri terlebih dulu. Aturan demikian ada di dalam naskah yang ditulis sekitar abad ke-16/ke-17. Naskah itu satu-satunya di dunia dan kini menjadi koleksi Perpusnas.
Ratusan tahun lalu boleh dibilang masyarakat masih belum berpakaian seperti masa sekarang. Paling-paling pakaian itu menutupi sebagian tubuh. Nah, menurut naskah kuno Sunda, masyarakat saat itu sudah mengenal tiga kesadaran. Makan dan minum tentu sudah wajib, itu yang pertama. Yang kedua, berpakaian dan yang ketiga, berbicara dan memerintah.
Bahkan orang berpakaian karena ada standar etika. Sebuah naskah kuno mengatakan, "Payudara montok tutuplah dengan aben, jangan dibiarkan menyembul".
Dari naskah kuno diketahui pula ada dua ragam hias dalam tekstil, yakni tulis dan tenun. Dalam tulis, ahlinya disebut lukis dan tempat produksinya disebut bale tulis. Di dalam naskah disebutkan adanya sembilan motif tulis.
Dalam tenun, ahlinya disebut pangeyeuk, sementara tempat produksinya disebut bale sipangeyeukan. Jumlah motif yang disebutkan ada 25. Sayang kesemua motif tulis dan tenun tidak disertai gambar.