Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Zaman Dahulu, Musik Berkaitan dengan Ritual Keagamaan dan Peperangan

5 November 2017   07:40 Diperbarui: 5 November 2017   09:00 7888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seni musik berkaitan erat dengan bunyi-bunyian, baik yang bersifat kultural (yang diciptakan oleh manusia) maupun yang bersifat alami. Pada dasarnya musik merupakan organisasi bunyi yang dihasilkan karena adanya kesepakatan antara si pencipta bunyi, si pemain alat yang menghasilkan bunyi, dan si pendengar melalui proses yang amat panjang. Dalam interaksi tersebut kemudian muncul parameter sebagai produk kultural.

Pengenalan seni musik di Nusantara diperkirakan telah berlangsung sejak masa prasejarah, yaitu pada masa mesolitik. Waktu itu masih dalam bentuk sederhana dan belum beragam. Hal ini tercermin dari lukisan di dinding-dinding goa yang menggambarkan pertempuran dan tarian.

Kita dapat mereka-reka bahwa pertempuran dan tarian itu, kemungkinan diiringi oleh musik atau bunyi-bunyian sederhana. Seni musik pada masa prasejarah, mulanya bukan ditujukan untuk sarana hiburan, tapi lebih banyak berkaitan dengan aktivitas ritual keagamaan dan peperangan.

Nekara

Bunyi-bunyian tertentu bagi masyarakat prasejarah yang umumnya menganut animisme, dipercaya dapat memanggil roh-roh leluhur dalam suatu upacara ritual keagamaan. Temuan arkeologis berupa nekara perunggu dari NTB dan moko dari NTT, diperkirakan sebagai sumber bunyi-bunyian yang mengiringi upacara ritual keagamaan pada masa Paleometalik, sekitar 2500 tahun yang lalu. 

Arca megalitik dari Pasemah, Sumatera Selatan (Foto: Katalog Pameran, 2010)
Arca megalitik dari Pasemah, Sumatera Selatan (Foto: Katalog Pameran, 2010)
Nekara diperkirakan menjadi cikal bakal dari alat musik yang sekarang dikenal dengan sebutan gong. Hal ini diperkuat adanya temuan arca megalitik yang sedang memegang nekara di situs Pasemah, Sumatera Selatan.

Musik yang paling awal dipastikan berasal dari bunyi-bunyian anggota tubuh manusia, seperti bersiul, berteriak, bertepuk tangan, dan menghentakkan kaki. Tradisi ini berkembang dan ada di seluruh Nusantara kuno, melewati masa ribuan tahun, sekitar 3500 SM sampai abad ke-5 Masehi. Sementara alat musik pertama kemungkinan dibuat dari potensi alam sekitar, misalnya sangkha, yakni terompet dari cangkang moluska.

Relief candi

Memasuki masa Hindu-Buddha (abad ke-5 hingga ke-15 Masehi), seni musik terus mengalami perkembangan, baik dari segi keanekaragaman alat musik maupun fungsi dari musik itu sendiri.  Pada masa ini seni terbagi dua, yaitu kesenian yang berkembang di dalam tradisi sistem kerajaan (istana) dan kesenian yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. 

Relief pemain musik di Candi Borobudur (Foto: Hindu-Javanese Musical Instruments)
Relief pemain musik di Candi Borobudur (Foto: Hindu-Javanese Musical Instruments)
Hubungan perdagangan dengan India dan Tiongkok, secara tidak langsung juga mempengaruhi jenis musik dan alat musik yang berkembang pada masa itu. Tinggalan arkeologis dari masa Hindu-Buddha yang berkaitan dengan seni musik banyak dijumpai, misalnya gong, kenong, simbal, genta, kentongan, dan kemanak. 

Pada Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan pemandian Jalatunda di Jawa Timur, misalnya, dijumpai relief yang menggambarkan orang yang sedang memainkan alat musik, seperti gendang, seruling, dan lute (sejenis gitar). Beberapa relief candi juga menggambarkan  Kinnara, yaitu makhluk surga yang menyanyi sambil bermain musik untuk menghibur para dewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun