Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sensasi Modern "Zaman Now" di Museum

27 Oktober 2017   07:47 Diperbarui: 27 Oktober 2017   11:33 2022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala museum, Agus Nugroho dan pemandu museum, Wahyuni sedang memeragakan cara memindai (Dokpri)

Selama ini museum masih dianggap kurang menarik. Ada yang bilang menyeramkan, kotor, gelap, dan pandangan negatif lain. Itu dulu loh. Pada zaman now, museum harus kekinian. Pada era milenial, teknologi digital tentu harus berperan.

Melihat foto atau benda saja, bagi sementara orang masih kurang menarik. Harus dibuat lebih agar mudah dipahami. Seingat saya mulai 2015 diperkenalkan aplikasi Siji untuk membuat museum digital. Aplikasi itu tinggal diunduh dari Playstore yang ada di ponsel pintar android.

Kamis, 26 Oktober 2017 saya mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol no. 1, Jakarta Pusat. Museum itu sudah berbasis teknologi digital, sebagaimana terpampang pada standing banner di dekat pintu masuk.  

Pengunjung bisa langsung mengunduh aplikasi tersebut di ponsel android, lalu memindai barcode.  Jangan khawatir, di dalam museum terdapat Wifi gratis untuk mengunduh aplikasi Siji. Setelah itu baru bisa digunakan.

Carilah  gambar yang bertanda khusus. Setelah itu aktifkan aplikasi Siji. Nah, arahkan ponsel Anda ke gambar. Setelah itu timbul suara yang menginformasikan gambar tersebut. Jelas sangat bermanfaat untuk kaum tunanetra.

Bukan hanya suara yang muncul. Film dokumenter singkat ikut memperkaya informasi. "Nah, itu taplak meja kotak-kotak. Sama seperti yang tampak pada foto," kata Wahyuni yang menemani saya. Film dokumenter ini, menurut Wahyuni, diperoleh dari Arsip Nasional.

Kepala Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Agus Nugroho, yang ikut menemani saya mengatakan, saat ini baru ada 16 museum digital yang terletak di lantai 1 dan lantai 2. Direncanakan mendatang akan bertambah lagi. Betapa sensasi modern sudah ada di dalam museum.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Beberapa informasi lain juga sudah dibuat digital. Misalnya komik digital yang berisi cerita tokoh-tokoh di seputar Proklamasi 1945. Sayang, ada satu komputer layar sentuh yang kurang berfungsi baik. Pasti ini karena ulah pengunjung yang ingin tahu fungsi alat itu. Mereka tekan sana, tekan sini. Geser sana, geser sini. Kalau istilah komputer, mungkin alat itu sedang hang.

Sepengetahuan saya memang alat-alat seperti itu sering menjadi uji coba pengunjung, terutama kalangan anak-anak. Di sejumlah museum lain pun begitu. Komputer layar sentuh menjadi cepat rusak.

Rumah Maeda

Museum Perumusan Naskah Proklamasi merupakan gedung bersejarah penting. Pada malam 16 Agustus 1945 Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Soebarjo, dan lain-lain merumuskan konsep naskah proklamasi yang kemudian dibacakan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56.

Kepala museum, Agus Nugroho dan pemandu museum, Wahyuni sedang memeragakan cara memindai (Dokpri)
Kepala museum, Agus Nugroho dan pemandu museum, Wahyuni sedang memeragakan cara memindai (Dokpri)
Para tokoh Indonesia itu memanfaatkan rumah kediaman Laksamana Tadashi Maeda dari Jepang. Gambaran tentang saat-saat proklamasi, seperti naskah proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik didampingi B.M. Diah, ada di sini. Begitu juga radio zaman dulu, sarana untuk mendengarkan pembacaan naskah proklamasi. Yang jelas, informasi tentang tokoh-tokoh seputar proklamasi 1945 ada di museum ini.

Kalau ke museum ini jangan lupa melihat bungker di halaman belakang. Dulu digunakan sebagai tempat perlindungan kalau ada serangan atau bom dari pihak lawan. Sangat jarang sekali museum yang memiliki bungker.  

Tarif masuk museum lumayan murah kok, Rp 2.000 untuk dewasa dan Rp 1.000 untuk anak-anak. Bahkan untuk rombongan minimal 20 orang bisa diberikan harga khusus. Museum buka pada Selasa hingga Minggu pukul 08.00-16.00. Perlu diingat, setiap Senen museum tutup.

Cara memakai ponsel pintar (Dokpri)
Cara memakai ponsel pintar (Dokpri)
Mencapai Museum Perumusan Naskah Proklamasi cukup mudah. Bisa berjalan kaki dari stasiun kereta api Cikini sekitar dua kilometer. Bis TransJakarta rute Bundaran Senayan -- TU Gas dan Grogol -- TU Gas lewat depan museum. Bilang saja turun di halte Museum (kalau dari arah  TU Gas) atau halte Taman Suropati (dari arah Bundaran Senayan atau Grogol).***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun