Coba perhatikan, kalau ada perempuan-perempuan hebat selalu dibilang inilah Kartini-Kartini masa kini atau Kartini-Kartini masa depan. Â Tentu kita pernah membaca buku-buku sejarah, paling tidak pernah mendengar Kartini dipandang sebagai tokoh emansipasi. Ia memperjuangkan persamaan hak antara perempuan dan lelaki. Padahal, kita memiliki banyak tokoh perempuan. Sebut saja Malahayati, Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan Dewi Sartika. Setiap tokoh memang sukar diperbandingkan karena masing-masing berkiprah dalam bidang yang berlainan.
Hari ini, Rabu, 25 Oktober 2017 di Museum Kebangkitan Nasional berlangsung seminar tokoh Dewi Sartika. Â Ada empat pemakalah dalam seminar itu, yakni Kenny Dewi, Wawan Darmawan, Bondan Kanumoyoso, dan Tengku Azwansyah A. Teruna.
Sakola Istri
Dari presentasi keempat makalah, saya mendapat kesimpulan demikian. Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884. Ketika memasuki usia sekolah, Dewi Sartika memasuki Eerste Klasse School. Sekolah ini dikhususkan bagi kalangan orang Eropa, orang-orang yang dianggap sederajat dengan orang Eropa, dan anak-anak dari kalangan bangsawan Indonesia.
Pada 1902 Dewi Sartika membuka sebuah sekolah untuk perempuan di halaman belakang rumah ibunya. Ia mengajar sukarela tanpa meminta bayaran.
Inspektur Pengajaran Hindia-Belanda, C. Den Hammer mendukung upaya Dewi Sartika. Ia pun nmeminta Dewi Sartika untuk membuat sekolah secara resmi. Akhirnya pada 16 Januari 1904 berdiri Sakola Istri. Tempat belajarnya di halaman depan rumah Bupati Bandung. Sakola Istri memiliki slogan Cageur, Bageur, Pinter.
Pada 1910 nama Sakola Istri diganti Sakola Kautamaan Istri. Pada 1929 berganti lagi menjadi Sekolah Raden Dewi. Pada zaman Jepang 1942 menjadi Sekolah Rakyat Gadis.
Pada 1906 Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, yang dalam buku-buku sejarah sering ditulis Raden Agah. Raden Agah meninggal pada 25 Juli 1939, sementara Dewi Sartika meninggal pada 11 September 1947.
Penghargaan
Pemerintah Hindia-Belanda pernah dua kali memberikan penghargaan untuk Dewi Sartika. Pada 1922 ia mendapat Bintang Perak dan pada 1939 mendapat Bintang Emas. Tulisan Dewi Sartika yang berjudul "De Inlandsche Vrouw" (Wanita Bumiputera) dibukukan bersama tulisan lainnya oleh Komisi Penelitian Kemunduran Kesejahteraan. Pada 1966 Dewi Sartika dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.