Zaman terus berubah. Kini era manual ditinggalkan. Era digital merambah ke segala lapisan masyarakat. Era informasi pun berganti drastis dari cetak ke online. Dulu orang cuma bisa membaca koran cetak. Tetapi sekarang, meskipun sebagian masih dicetak, bentuk koran sudah dikonversi ke versi digital. Para pembaca, terutama generasi muda, cukup membaca informasi lewat telepon pintar kapan pun dan di mana pun.
Versi cetak memang sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Segala lapisan masyarakat cukup mencari informasi yang diperlukan lewat mesin pencari di internet. Memang di kalangan ilmuwan informasi online kurang bernilai. Yang lebih berbobot tentu saja informasi lewat bahan-bahan tercetak, seperti buku dan jurnal.
Dua-tiga tahun belakangan ini kemajuan teknologi digital berdampak pada media cetak. Sudah belasan media cetak tutup dan sebagian lagi berada dalam keadaan sekarat. Hanya media-media bermodal besar masih bertahan hidup. Itu pun banyak yang beralih sebagian ke versi digital.
Buku pun tampaknya begitu. Sepengetahuan saya sudah ada beberapa penerbit buku gulung tikar. Selain terdesak teknologi digital, penerbit buku kecil kalah bersaing dengan penerbit buku besar. Begitu pula penerbit-penerbit lama. Kini namanya tidak terdengar lagi apakah masih berproduksi atau tidak.
Idealis
Dulu saya sering membeli buku produksi Penerbit Bhratara. Saya cari-cari di internet, belum menemukan kapankah penerbit ini berdiri. Buku saya tertua keluaran Bhratara berjudul Pararaton karya R. Pitono Hardjowardojo. Buku ini diterbitkan pada 1965. Pada buku tertera alamat penerbit Jalan Bidaracina III/29. Pada buku-buku terbitan 1970-an alamatnya berganti menjadi Jalan Oto Iskandardinata III/29. Â
Saya perhatikan, Bhratara banyak menghasilkan buku Humaniora yang berkualitas. Baik buku-buku yang ditulis ilmuwan-ilmuwan Indonesia maupun terjemahan dari artikel-artikel berbahasa asing yang dibukukan. Prof. Slamet Muljana dan Prof. Sartono Kartodirdjo pernah menulis buku. Saya punya koleksinya. Dihitung-hitung ada sih belasan buku produksi Bhratara yang saya miliki.
Sekitar 1987 saya pernah cari buku langsung ke sana. Ternyata Bhratara masih ada. Bahkan saya sempat ngobrol dengan seorang pengelola Bhratara. Katanya, menjadi penerbit buku-buku "berat" kita harus punya jiwa idealis. Ia bilang, dalam waktu tiga tahun, 1.000 eksemplar buku pun belum tentu habis terjual. Tampaknya profesi penulis buku makin dijauhi. Apalagi kalau royalti hasil kerja keras kecil sekali. Bagaimana bisa hidup layak.
Entah sejak kapan, saya dengar Bhratara pindah ke kawasan industri Pulo Gadung. Setelah itu kok tidak terdengar lagi.
Memang harga untuk mencerdaskan masyarakat sangat mahal. Sampai sejauh ini belum ada dukungan positif dari pemerintah. Padahal sejak lama para penerbit sudah mengeluhkan besarnya biaya pajak kertas dan ongkos produksi. Dilema untuk menerbitkan buku-buku nonfiksi masih terjadi sampai sekarang.***