Setelah lulus kuliah dari Jurusan Arkeologi UI, saya sempat menjadi jurnalis. Karena profesi itulah saya memperoleh banyak buku arkeologi. Tahun 1980-an saya sering ke Jalan Cilacap No. 4, Jakarta Pusat. Di situ berkantor Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N). Saya kenal baik dengan Pak Uka Tjandrasasmita dan Pak R.P. Soejono. Mereka sering menghadiahi saya publikasi terbitan P4N. Maklum mereka arkeolog senior, sementara saya arkeolog yunior. Sebagai jurnalis tentu saja buku menjadi asupan penting.
Kalau tidak salah sejak 1976 P4N dipecah menjadi dua instansi yaitu Direktorat Sejarah dan Purbakala, instansi satu lagi Pusat Penelitian Purbakala Nasional yang kemudian menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Direktorat Sejarah dan Purbakala dikepalai Pak Uka Tjandrasasmita masih berkantor di tempat lama, sementara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dikepalai Pak R.P. Soejono berkantor di Jalan Condet Pejaten, Pasar Minggu. Sejak adanya dua instansi itu, Pak Uka dan Pak Jono masih sering menghadiahi saya buku.
Ketika itu masih ada satu instansi yang saya datangi, yaitu Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Kantornya terletak di Gedung Balaikota lantai 18. Saya kenal baik dengan arkeolog senior Pak Dirman Surachmat. Beruntung, saya masih menyimpan publikasi-publikasi pertama yang diterbitkan ketiga instansi tersebut. Usianya lebih dari 30 tahun. Sekarang publikasi-publikasi tersebut termasuk kategori langka.
Koleksi buku
Karena profesi jurnalis itulah mungkin saya senang mengoleksi buku. Semasa kuliah memang saya sering membeli buku. Apalagi ketika itu saya sering menulis artikel di beberapa koran. Sebagian uang honorarium saya sisihkan untuk membeli buku.
Semakin tahun koleksi buku saya semakin banyak. Pada awalnya memang koleksi buku-buku arkeologi. Tapi kemudian berkembang. Kalau ada uang lebih, saya beli kamus dan ensiklopedia. Untuk berburu buku, saya kerap mengunjungi pameran buku yang waktu itu masih di arena Pekan Raya Jakarta, Monas.
Untuk memperkaya wawasan saya tentang arkeologi, saya juga membeli buku-buku astrologi, palmistri, astronomi, dan lain-lain. Kini buku-buku yang saya miliki lumayan banyak. Padahal saya bukan ilmuwan atau cendekiawan loh. Saya hanya pekerja lepas yang bekerja secara mandiri.
Dulu ayah saya pernah menjadi guru. Nah, buku-buku peninggalan almarhum ayah saya cukup banyak dan masih terpelihara sampai sekarang. Tante saya, adik ibu, juga pernah menjadi guru. Banyak bukunya juga ada pada saya.
Dihitung-hitung saya pernah menjadi jurnalis, PNS, dan karyawan swasta. Baru sejak krisis moneter 1998 saya menjadi pekerja lepas mandiri. Sejak itu saya tidak punya kantor.
Mencerdaskan masyarakat
Berhubung tidak punya kantor, tentu saya bisa bekerja semau saya. Kalau saya mau, biasanya saya berkunjung ke kantor teman-teman saya. Tujuannya hanya satu: minta buku. Kantor-kantor pemerintah memang menyediakan buku yang tidak diperjualbelikan. Cuma syaratnya kita harus datang sendiri. Karena sering menulis artikel di koran atau majalah, saya banyak dikenal. Itulah asyiknya berburu buku gratis.
Sejak 2015 saya sering membagi buku untuk perpustakaan komunitas di luar Jakarta. Bahkan menyelenggarakan KUBU (Kuis Buku), GEMAR (Gerakan Menulis Arkeologi), dan GEMES (Gerakan Menulis Sejarah) untuk mahasiswa, arkeolog yunior, dan masyarakat. Jadi karena ada buktinya, saya gampang memperoleh buku.
Banyak buku jelas identik dengan banyak menulis. Saat ini sih saya lebih banyak menulis di blog pribadi dan blog publik Kompasiana. Memang tidak ada honorarium. Saya pikir tidak apalah, yang penting mencerdaskan masyarakat. Semoga suatu waktu saya bisa membuat Perpustakaan Keluarga yang bisa diakses masyarakat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H