Kalau mau mengenal dunia, membacalah. Tapi kalau mau dikenal dunia, menulislah. Begitulah dua kalimat yang paling saya ingat. Ada lagi kalimat Pramoedya Ananta Toer yang saya anggap bermakna, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang dari masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".
Menulis bukan hanya keterampilan mengolah kata. Selain mencerdaskan masyarakat, lewat menulis saya juga dapat honorarium. Uang hasil honorarium tentu saja sebagian saya sisihkan untuk membeli buku.
Ketika masuk Jurusan Arkeologi UI tahun 1979, saya belum tertarik menulis. Pada tahun kuliah 1980/1981 saya mendapat beasiswa sebesar Rp 12.500 sebulan. Jika dibandingkan dengan uang kuliah atau SPP sebesar Rp 15.000 per semester, tentu saja beasiswa tersebut cukup besar.
Pada tahun kuliah 1981/1982 rekan saya sesama mahasiswa arkeologi UI, Norman Edwin (kini almarhum), memaksa saya untuk menulis. Maklum ia sudah jadi redaktur di tabloid Mutiara. Beasiswa pun saya lepaskan, untuk diberikan kepada mahasiswa lain. Ketika itu honorarium menulis Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Ternyata dulu sekali menulis di koran bisa untuk membayar uang kuliah. Sekarang pasti tidak bisa karena kenaikan honorarium tidak sebanding dengan kenaikan uang kuliah.
Sayang saya tidak memiliki tulisan-tulisan pertama saya masa 1981 dan 1982. Kalaupun ada, tidak lebih dari sepuluh tulisan. Suatu waktu akan saya cari di Perpustakaan Nasional.
Namun tulisan-tulisan berikutnya, mulai 1983 saya kumpulkan dan buatkan kliping. Â Sesuai dengan bidang pendidikan saya, tentu saja yang terbanyak tulisan mengenai arkeologi. Karena banyak, saya bagi menjadi tiga, yaitu tulisan-tulisan periode 1983-1987, 1988-1990, dan 1991-1992. Saya buat kliping-kliping itu pada 1993.
Terus menulis
Meskipun sejak lulus 1985 saya tidak bekerja di instansi arkeologi, saya tetap dan terus menulis. Terus terang kebisaan saya hanya menulis ringan dan populer di media cetak. Kalau disuruh menulis ilmiah, saya agak kaku. Sudah banyak media cetak memuat tulisan saya dalam berbagai rubrik. Yang saya ingat Warta Mahasiswa, Indonesia, Mutiara, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Pelita, Merdeka, Kompas, Warta Kota, Media Indonesia, Intisari, Soul & Mind Body, Amanah, Bisnis Indonesia, dan Reader's Digest Indonesia.
Patut disayangkan, kalau ada saingan dari sesama arkeolog, pasti kreativitas dan produktivitas saya bertambah. Seperti pada saat mahasiswa, ketika itu terjadi saingan, tentu saja yang positif. Beberapa mahasiswa arkeologi pada zaman saya memang hobi menulis.