Pagi itu Kota Tua Jakarta masih terlihat sepi, mungkin karena bukan Sabtu, Minggu, atau hari libur. Tujuan saya hari ini, Selasa, adalah mengunjungi Museum Seni Rupa dan Keramik. Museum ini berlokasi tidak jauh dari stasiun kereta api Jakarta Kota, tepatnya di Jalan Pos Kota Nomor 2, masih di kawasan kota tua Jakarta.
Selain pameran tetap, Museum Seni Rupa dan Keramik sering menyelenggarakan pameran temporer. Awal Agustus lalu saya sempat menghadiri pameran keramik. Pamerannya berlangsung hingga 31 Desember 2017. Kali ini pameran lukisan karya Srihadi Soedarsono bertema "Menyingkap Ja(YA)karta". Pameran akan berlangsung hingga 23 Oktober 2017.
Srihadi merupakan maestro seni rupa Indonesia. Ia lahir pada 1931. Ada lagi satu pelukis terkenal, bacanya sama tapi tulisannya berbeda, Sri Hadhy. Ia lahir pada 1943.
Pameran tersebut merupakan kerja sama antara Museum Seni Rupa dan Keramik dengan Yayasan Mitra Museum Jakarta. Karya Srihadi yang ditampilkan berjudul Air Mancar (1973) dan Jayakarta (1975).
Goresan perjuangan
Soedarmadji Damais yang saat ini menjabat Ketua Umum Yayasan Mitra Museum Jakarta mengatakan lukisan Jayakarta menceritakan tentang evolusi kota Jakarta. Juga menggambarkan sebuah cerminan akan keberhasilan masyarakat menegaskan toleransi di dalam keseharian hidup dan berbudaya. Bahkan unsur-unsur kenangan akan pembangunan kota Jakarta dari masa ke masa.
Sejarah lukisan Air Mancar lebih menarik. Pada 1975 untuk menyambut berdirinya TMII, lukisan Air Mancar dipajang di anjungan Jakarta. Srihadi memenuhi kanvasnya dengan reklame-reklame produk Jepang di jalanan Jakarta. Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, sangat tersinggung. Ia marah lantas mencorat-coret lukisan tersebut dengan pensil.
Namun kemudian Ali Sadikin meminta maaf kepada Srihadi. Bahkan Ali Sadikin meminta Srihadi membuatkan sebuah karya untuk mengisi salah satu tembok di gedung Balai Kota menggambarkan kota Jakarta yang bersih sejak 1527 hingga 1970-an. Itulah yang dikenal dengan lukisan Jayakarta. Â
Pada awalnya lukisan Jayakarta dipajang di ruang penyambutan tamu penting pemerintahan di Balai Kota. Namun setelah Ali Sadikin turun, ruangan tersebut tidak lagi digunakan sebagai tempat menerima tamu. Akibatnya lukisan Jayakarta kurang terpelihara. Yang diperlukan tentu  upaya maksimal dalam perawatan fisiknya.
Semoga upaya restorasi yang sesuai dengan kaidah pelestarian dan konservasi dapat terlaksana, seperti halnya lukisan S. Sudjojono di Museum Sejarah Jakarta. Beberapa tahun lalu Museum Sejarah Jakarta mendapat bantuan tenaga restorator lukisan dari Singapura.
"Kota Jakarta adalah kota tua dan tumbuh berkembang sebagai kota metropolitan yang modern, sejajar dengan kosmopolitan dunia. Tiap warga negara Indonesia harus bangga terhadap ibu kotanya yang memiliki identitas nasional dan internasional," ujar Srihadi, demikian yang saya kutip dari antaranews.com.
Bersamaan dengan itu, sebagaimana dikatakan Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik, Esti Utami, diperkenalkan pula lini narasi baru di dalam museum. Narasi dimulai dengan menampilkan perkembangan seni lukis di Indonesia yang masuk melalui kolonialisme. Dari masa ini tentu kita tidak melupakan peran Raden Saleh. Seni lukis masa Orde Baru juga ditampilkan. Keragaman koleksi lukisan Museum Seni Rupa dan Keramik memang tampak pada kecenderungan tema, medium, dan gaya (estetika).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H