Ayah saya rupanya penggemar musik. Ada banyak piringan hitam yang ia wariskan kepada saya. Sayang karena sudah terlalu lama, banyak sampul piringan hitam itu telah rusak. Mungkin ayah saya kurang memperhatikan tempat penyimpanan, terutama setelah alat pemutarnya rusak. Setahu saya alat pemutar itu buatan Jerman, entah merknya apa. Sewaktu kecil, saya sering mendengar musik dari piringan hitam ayah.
Sekarang lemari kecil itu telah berubah fungsi. Bagian atas, yang tadinya tempat turntable, menjadi tempat gelas dan piring. Bagian bawah tempat memuat piringan hitam, menjadi tempat makanan kering.
Alat pemutar piringan hitam setahu saya memiliki berbagai nama. Ada yang menyebutnya gramofon, ada juga phonographdan turntable. Seingat saya, dulu ayah sering menyuruh saya, "Coba setel pelat". Mungkin pelat menjadi sebutan populer masyarakat awam.
Piringan hitam pun memiliki berbagai ukuran. Yang kecil berdiameter sekitar 20 sentimeter. Saking kecilnya, rata-rata memuat dua lagu pada sisi A dan dua lagu pada sisi B. Memang piringan hitam memiliki dua sisi. Tiap lagu dibatasi oleh garis agak tebal. Jadi kita mudah memilih lagu.
Besar kecilnya ukuran piringan hitam berpengaruh pada putaran. Maka pada alat pemutar piringan hitam selalu dituliskan 33 1/3, 45, 65, dan 78 RPM (Radial Per Minute).
Meskipun disebut piringan hitam, ternyata ada juga yang berwarna merah. Piringan hitam ini diproduksi di Hongkong. Ayah saya memiliki banyak piringan hitam yang saya amati merupakan produk luar Indonesia.
Produk Indonesia juga ada, antara lain Lilis Suryani, Bing Slamet, Rachmat Kartolo, Aida Mustafa, dan Trio Bintang. Dilihat dari label atau perusahaan rekaman, terbanyak bertuliskan Irama.
Perusahaan rekaman Irama Record didirikan pada 1954. Disusul Dimita dan Remako di Jakarta dan Lokananta di Solo. Setiap perusahaan rekaman memproduksi berbagai jenis lagu keroncong, daerah, dan pop. Â
Dilihat dari label nama pada piringan hitam saya, banyak pula bertuliskan Columbia. Mungkin piringan hitam itu masih barang impor. Nama Columbia mengacu pada AS.
Pada 1963 sebenarnya kaset sudah dikenal. Namun popularitas kaset masih belum mampu menggeser piringan hitam. Di toko-toko musik, piringan hitam masih dijual bersama dengan kaset. Namun karena alat pemutar piringan hitam lebih mahal, maka kaset lebih diminati masyarakat. Apalagi jumlah lagu pada kaset lebih banyak dibandingkan piringan hitam.
Piringan hitam mulai kalah pamor sejak adanya Compact Disc (CD) di awal 1980. Hal ini karena CD memiliki bentuk yang lebih kecil, praktis, dan suara yang lebih jernih.
Hingga saat ini penjualan piringan hitam masih marak karena banyak musisi luar negeri merilis album barunya dengan format piringan hitam. Sejak beberapa tahun lalu alat pemutar jadul dan piringan hitam menjadi buruan para kolektor.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H