Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kain Tradisional Mampu Mempertemukan Konflik Sosial dan Isu HAM

27 Agustus 2017   20:18 Diperbarui: 28 Agustus 2017   00:41 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat warga Baduy dengan pakaian khasnya berdiri paling depan. Mereka memegang spanduk bertuliskan "Parade Kain Nusantara". Minggu, 27 Agustus 2017, memang diselenggarakan Parade Kain Nusantara. Saat itu bertepatan dengan Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day.

Parade Kain Nusantara diselenggarakan oleh Komnas HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Acara ini diikuti segala lapisan lapisan masyarakat karena poster tersebar melalui laman dan media sosial. Kata kunci para peserta hanya memakai kain/sarung Nusantara.

Menurut jadwal acara berlangsung mulai pukul 06.30. Sekitar jam-jam itu banyak peserta sudah kumpul. Titik kumpul di sekitar bundaran Hotel Indonesia. Mereka diminta mengisi absensi lalu mendapatkan makanan ringan. Tiga macam kue, termasuk lontong, tentu lumayan sebagai pengisi perut. Apalagi mereka berangkat sejak pagi yang rata-rata belum sarapan.

Pukul 07.00 panitia memberikan aba-aba persiapan jalan. Tujuan akhir adalah Museum Nasional. Di sana sudah menunggu acara selanjutnya yaitu bincang-bincang santai. Pukul 07.30, arak-arakan mulai bergerak dari titik kumpul.

Berbagai jenis kain dari berbagai penjuru Nusantara, tampil pada kegiatan itu. Sungguh menunjukkan kekayaan bangsa dan keberagaman budaya Indonesia.

Para peserta parade berjalan berarak-arakan (Dokpri)
Para peserta parade berjalan berarak-arakan (Dokpri)
Peserta dari Sulawesi Utara ikut menyemarakkan suasana. Mereka tampil dengan warna merah dengan pakaian tradisional yang dihiasi berbagai aksesoris. Lengkap dengan alat musik dan senjata. Pada peringatan 17 Agustus lalu, mereka pernah diundang ke Istana.

Di belakangnya turut berbaris wanita-wanita ayu berpakaian Bali. Para peserta dari Direktorat Jenderal Kebudayaan mengakhiri barisan. Mereka berpakaian khas berbagai daerah. Maklum dua kali sebulan mereka harus berpakaian nasional di kantor.

Masyarakat adat
Acara Parade Kain Nusantara dilaksanakan dalam rangka memeringati Hari Intenasional Masyarakat Adat yang diperingati setiap 9 Agustus oleh masyarakat adat di seluruh dunia sekaligus HUT ke-72 Republik Indonesia. Komnas HAM terlibat di dalamnya mengingat akhir-akhir ini isu intoleransi merebak di masyarakat. Diharapkan lewat acara ini tersampaikan pesan bahwa kita ini beragam, ditunjukkan lewat beragamnya kain-kain tradisional Indonesia. Beragam tapi satu.

Bincang-bincang "Pengelolaan Kain Tradisional" dihadiri beberapa unsur. Hadir Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Hadir juga perwakilan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Lingkungan Hidup, Komunitas Pencinta Tenun, dan pemerhati kain.

Bincang-bincang santai sangat diminati peserta. Terbukti mereka mengajukan banyak pertanyaan. Mungkin karena kain merupakan satu kekayaan Nusantara dan menjadi identitas penduduk atau masyarakat adat yang masih banyak dihormati dan dipakai sampai saat ini. Batik, contohnya, telah menjadi salah satu warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO. Kain juga dianggap mampu mempertemukan isu-isu yang selama ini dianggap 'berat' oleh masyarakat seperti konflik lahan atau tanah, serta konflik soal HAM.

Pengisi materi bincang-bincang santai (Dokpri)
Pengisi materi bincang-bincang santai (Dokpri)
Banyak orang jelas prihatin karena kain Nusantara kerap dianggap simbol. Masyarakat menyukai kain tradisional hanya sebatas karena harganya yang mahal dan tampak prestisius, tanpa tahu cerita di balik kain yang dimilikinya.

Hilmar mencontohkan banyak orang berpakaian tradisional tapi mengenakan sepatu. Padahal, yang benar adalah mengenakan sandal.

Kain tradisional sendiri memang terkendala bahan, bahkan ada yang harus diimpor. Begitu juga bahan kulit kayu. Kalau terlalu banyak diambil pasti merusak ekosistem.

Waktu penenunan pun membutuhkan waktu lama, bisa berbulan-bulan. Apalagi jika kain punya makna spiritual, terlebih kain tua. Uniknya, dalam kain tradisional terkandung cerita dan punya makna tertentu.

Untuk mengangkat derajat kain, Perkumpulan Cinta Tenun mengharapkan adanya ekstrakurikuler. Baru beberapa daerah menyelenggarakan kegiatan itu. Ironisnya, beberapa pengajar terpaksa mengundurkan diri karena tidak memperoleh honorarium.

Penanganan kain tradisional dari hulu ke hilir jelas membutuhkan koneksivitas. Selama ini justru setiap instansi pemerintah berjalan sendiri-sendiri. Pelindungan, pengembangan, dan pencatatan sudah dilakukan oleh Direkrorat Jenderal Kebudayaan. Bahkan menetapkan manfaat setiap kain.

Acara ditutup oleh Kasubdit Warisan Budaya Tak Benda, Lien Dwiari Ratnawati. Kita harapkan kain tradisional akan mendapat tempat di masyarakat, terutama wisatawan mancanegara. Tentu saja sebagai kenang-kenangan atau cenderamata bahwa yang bersangkutan pernah mengunjungi daerah tertentu di Indonesia. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun