Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Gambar Cadas di Sangkulirang-Mangkalihat Kebanyakan Merah?

17 Agustus 2017   15:07 Diperbarui: 18 Agustus 2017   09:00 2378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam arkeologi dikenal istilah gambar cadas pada gua-gua kuno. Diperkirakan umurnya sudah ribuan tahun. Maka dari itu sering disebut gambar cadas prasejarah. Prasejarah adalah periode sebelum masa sejarah. Saat itu manusia belum mengenal tulisan.

Gambar cadas prasejarah banyak ditemukan pada gua-gua kuno di seluruh Indonesia. Salah satu kawasan yang memiliki banyak gua kuno adalah  Sangkulirang-Mangkalihat. Lokasi ini merupakan kawasan karst seluas 1,8 juta hektar di Kalimantan Timur. Tepatnya berada di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau. Kawasan tersebut terdiri atas sembilan gunung karst raksasa.

Istilah karst mengacu kepada bentuk bentang alam khas yang terjadi akibat proses pelarutan pada kawasan batuan karbonat atau batuan mudah terlarut (umumnya formasi batu gamping) sehingga menghasilkan berbagai bentuk permukaan bumi yang unik dan menarik dengan ciri-ciri khas exokarst (di atas permukaan) dan indokarst (di bawah permukaan). Istilah tersebut berawal dari bahasa Jerman yang diserap dari bahasa Slavia, kras, yang memiliki arti lahan gersang berbatu. Dulu di Indonesia pernah diperkenalkan istilah krasatau curing. Kini istilah karst lebih populer.

Permukiman

Pada kawasan karst terdapat gua-gua permukiman. Berdasarkan temuan arkeologis diketahui merupakan bukti populasi masa lalu sekitar 4.000 tahun yang lalu. Manusia masa itu diduga berciri fisik Mongoloid dan penutur bahasa Austronesia. Mereka merupakan bagian dari proses migrasi berdasarkan teori "Out of Taiwan" yang menurunkan populasi bangsa Indonesia saat ini.

Ekskavasi di Gua Tengkorak (Sumber: Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat, 2016)
Ekskavasi di Gua Tengkorak (Sumber: Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat, 2016)
Tidak kurang 40 situs gua prasejarah ditemukan tersebar secara lateral dan vertikal. Pada level rendah mereka gunakan untuk hunian dan penguburan. Mungkin juga untuk ekspresi seni mereka. Level yang lebih tinggi digunakan untuk ruang ekspresi religi. Total terdapat sekitar 1.975 lukisan cadas prasejarah, kebanyakan berwarna merah. Mengapa dalam warna merah, tentu memerlukan penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian arkeologis terhadap beberapa gua yang ada di kawasan ini, diperoleh berbagai temuan budaya berupa alat batu serpih dan bilah, alat-alat tulang, dan gerabah. Sementara identifikasi terhadap ciri fisik rangka manusia dan hasil budayanya menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari populasi neolitik yang mengenalkan budaya pertanian, penjinakan binatang, dan pembuatan gerabah.

Ekspedisi asing

Terkuaknya gambar cadas (rock art) di Kalimantan berawal dari ekspedisi asing pada 1994. Ketika itu Jean Michael Chazine dan Luc Henry Fage sedang mengusung misi menemukan gua dengan gambar perahu di dalamnya. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan gambar cadas di Gua Mardua.

Setahun kemudian mereka mengajak peneliti dari Indonesia, Pindi Setiawan, bergabung dengan ekspedisi tersebut. Dalam kurun sepuluh tahun, mereka telah menemukan sedikitnya 30 gua yang memiliki lukisan. Ekspedisi mereka menjadi pembuka jalan bagi kegiatan penelitian dan pelestarian arkeologi oleh berbagai instansi.

Potensi alam dan budaya kawasan Sangkulirang-Mangkalihat sebenarnya luar biasa. Saat ini kawasan tersebut sedang mengajukan diri kepada UNESCO untuk ditetapkan sebagai Warisan Alam dan Budaya Dunia. Kita harapkan berhasil.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun