Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Para Arkeolog Menyusun Kisah Sejarah Melalui Pecahan Keramik Kuno

15 Agustus 2017   04:38 Diperbarui: 15 Agustus 2017   17:27 4250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lama di situs Trowulan, Mojokerto (Jawa Timur) ditemukan banyak keramik kuno.  Memang Trowulan sering disebut-sebut berhubungan dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini berkuasa pada abad ke-12 hingga ke-15.

Sayang keramik kuno yang ditemukan itu umumnya berupa pecahan. Meskipun begitu, para arkeolog tetap memandang pecahan keramik sebagai data  yang bermanfaat.  Tidak peduli sekecil apa pun. Tidak peduli sejelek apa pun. Tidak peduli berbentuk apa pun.

Penanganan keramik

Umumnya pecahan-pecahan keramik ditemukan di atas permukaan tanah. Jadi arkeolog tidak perlu melakukan ekskavasi (penggalian). Namun banyak pula pecahan keramik ditemukan melalui ekskavasi. Keramik-keramik tersebut kemudian dikumpulkan,  setelah terlebih dulu didokumentasikan. Pekerjaan arkeologi memang harus ilmiah dengan ciri utama perekaman data.

Pecahan keramik harus diberi label (Foto: Watty Yusman)
Pecahan keramik harus diberi label (Foto: Watty Yusman)
Penanganan keramik di luar kotak galian dilakukan dalam beberapa tahap. Supaya bersih, pecahan-pecahan keramik itu dicuci. Setelah kering, diberi label dari kotak galian mana keramik tersebut berasal. Pekerjaan selanjutnya mengklasifikasi bentuk keramik. Misalnya pecahan keramik yang diduga bagian dasar dikumpulkan dengan yang sejenis. Begitu pula bagian badan dengan bagian badan dan seterusnya.

Analisis

Tahap tersulit adalah analisis. Biasanya dilakukan di lapangan. Kalaupun tidak memungkinkan, biasanya di kantor seusai kegiatan ekskavasi. Analisis mencakup pertanggalan atau tarikh keramik tersebut. Bersamaan dengan analisis, para arkeolog merekonstruksi pecahan-pecahan keramik itu. Disambung-sambung dengan lem supaya bentuknya lebih tampak. Meskipun kemudian hasilnya kurang maksimal, paling tidak arkeolog mendapat gambaran bagaimana bentuk utuh keramik tersebut.

Tentu saja analisis mempertimbangkan hasil-hasil sebelum ini dan memperbandingkan satu sama lain. Bahkan dengan keramik sejenis dari situs-situs lain. Analisis berpedoman pada tiga tahap penggunaan keramik yaitu buat-pakai-buang.

Pecahan-pecahan keramik bagian dasar (Foto: Watty Yusman)
Pecahan-pecahan keramik bagian dasar (Foto: Watty Yusman)
Boleh jadi hasil analisis menunjukkan situs tersebut merupakan tempat pembuangan sampah. Adanya tempat pembuangan sampah merembet lagi pada penafsiran situs tersebut merupakan permukiman.

Tidak tertutup kemungkinan hasil analisis menyimpulkan pecahan keramik tersebut tergolong barang langka karena belum pernah ditemukan pada situs-situs arkeologi lain. Mungkin saja barang tersebut merupakan benda persembahan kepada pejabat kerajaan.

Dalam arkeologi, keramik merupakan artefak bertanggal mutlak. Seorang arkeolog yang berpengalaman di lapangan mampu mengidentifikasi keramik tersebut berasal dari masa siapa dan dari negara mana. Karena sudah diketahui tarikhnya, maka temuan-temuan lain yang berada di sekitar temuan keramik juga ditafsirkan memiliki tarikh serupa.

Para arkeolog memang ibarat pemulung. Benda-benda rongsokan saja dikumpulkan. Namun dari benda-benda yang di mata awam tidak berguna itu, arkeolog mampu menyusun kisah sejarah yang luar biasa. Arkeolog jelas bekerja berdasarkan metode ilmiah. Bukan sekadar klaim sebagaimana ulah segelintir orang yang mampu menciptakan "teori-teori baru" berdasarkan ilmu cocokologi atau utak atik gathuk.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun