Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pecahan Keramik Kuno untuk Membuat Cenderamata Terkendala Legalitas

7 Agustus 2017   11:26 Diperbarui: 8 Agustus 2017   02:13 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri Budi, moderator, Bregas, dan Naniek (Dokpri)

Prof. (Riset) Naniek Harkantiningsih menjadi salah seorang narasumber dalam bincang keramik yang diselenggarakan oleh Museum Seni Rupa dan Keramik, Minggu, 6 Agustus 2017. Museum ini terletak di Jalan Poskota, di kawasan kota tua Jakarta. Sebagai arkeolog yang bekerja di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, tentu saja Prof. Naniek berbicara tentang pecahan keramik, yang umumnya ditemukan pada sejumlah situs arkeologi. Keramik berbentuk utuhan memang jarang sekali ditemukan dalam kegiatan arkeologi.

Meskipun berbentuk pecahan, Prof. Naniek mampu mengenali dan mengidentifikasi temuan-temuan itu. Di dalam disiplin arkeologi, keramik merupakan artefak bertanggal mutlak. Tarikhnya bisa diketahui. Tarikh ini bisa digunakan untuk memberi pertanggalan pada temuan-temuan lain.

Keramik Tiongkok memiliki ciri tertentu, begitu pula keramik dari negara-negara Asia dan Eropa. Rupa-rupanya pada masa dulu, menurut Naniek, keramik merupakan barang dagangan. Keramik sangat disukai oleh masyarakat Indonesia. Dari Nusantara, para pedagang asing membawa barang-barang khas setiap daerah.

Akulturasi

Budi Pranata ikut memberi wawasan. Ia seorang kolektor, saat ini menjabat Ketua Himpunan Keramik Indonesia. Sebagai kolektor, tentu saja koleksinya bukan berupa pecahan. Keramik-keramik utuhan pastinya.

Dari kiri Budi, moderator, Bregas, dan Naniek (Dokpri)
Dari kiri Budi, moderator, Bregas, dan Naniek (Dokpri)
Budi bercerita pada masa lampau perdagangan keramik ditentukan angin muson. Maklum ketika itu perahu atau kapal menggunakan layar. Dari negaranya, kapal itu membawa barang dagangan, antara lain keramik. Sesampainya di Nusantara, mereka menukar barang dagangannya itu dengan produk-produk lokal.

Namun setelah itu mereka tidak langsung kembali ke negaranya. Mereka masih menunggu datangnya angin muson. Kemungkinan mereka menetap di Nusantara selama beberapa bulan. Akibatnya terjadi akulturasi budaya. Mereka, misalnya, mengajarkan cara-cara membuat makanan. Dari penduduk Nusantara yang disinggahi, mereka juga belajar sesuatu untuk dibawa ke negaranya.

Budi pernah menulis buku tentang martavan atau guci. Menurutnya, koleksi martavan terbaik terdapat di Kalimantan. Semula martavan yang berasal dari Tiongkok itu berisi arak. Namun sesampainya di Kalimantan, orang Dayak membuang isi martavan. Hanya martavannya yang digunakan. Sejak itu hanya martavan kosong yang dijual di Kalimantan.

Sebagai kolektor, Budi mempunyai kelebihan dibandingkan masyarakat awam. Ia mampu mengidentifikasi benda keramik asli atau palsu. Bahkan umur benda tersebut.

Bregas H.M dari Sahabat Keramik berbicara tentang keramik masa kini. Ia mempunyai studio keramik di kawasan Pamulang, Banten. Katanya, menjual keramik di Indonesia susah. Para peminatnya justru adalah orang-orang asing yang tinggal di Indonesia.

Ada satu pertanyaan menarik dari pengunjung. Seorang perajin keramik, Soraya, bertanya soal mengfungsikan pecahan keramik. "Sebenarnya pecahan keramik kuno bisa dimanfaatkan untuk membuat cenderamata, seperti gantungan kunci," katanya. Menurut Naniek, di luar negeri memang ada tanda-tanda khusus terhadap cenderamata yang dijual karena bahannya merupakan benda kuno.

Di Indonesia kita memang terkendala legalitas. Nah, ini perlu dipikirkan bersama.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun