Tulisan tentang Kerajaan Majapahit, termasuk beberapa tokohnya, yang beragama Islam viral di media sosial sejak awal Juni lalu. Dasarnya antara lain nama Gajah Mada yang menjadi Gaj Ahmada, koin bertuliskan huruf Arab, dan makam Islam yang ada di sekitar Trowulan. Di mata arkeolog dan sejarawan, hanya berdasarkan data demikian jelas masih kabur. Prosedur ilmiah harus berbicara konteks, yakni data yang saling berhubungan. Dari situlah baru bisa ditarik kesimpulan.
Memang yang namanya sejarah kuno, kesimpulan berdasarkan tafsiran. Tentu saja tanpa meninggalkan kaidah-kaidah ilmiah. Untuk Kerajaan Majapahit ada berbagai data atau sumber yang sampai kepada kita, baik sumber arkeologi maupun sumber sejarah. Kita ambil contoh candi, arca, mata uang, keramik, makam, prasasti, naskah kuno, dan berita asing.
Kamis, 22 Juni 2017 lalu Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman mengadakan Diskusi Terpumpun (FGD) tentang Sejarah Kerajaan Majapahit. Tampil sebagai pembicara Dr. Hasan Djafar dan Prof. Dr. Agus Aris Munandar mewakili arkeologi serta Dr. Hilmar Farid mewakili sejarawan.
Dari diskusi tersebut ada beberapa poin yang perlu disampaikan. Berikut poin-poin tersebut.
Prasasti
Dari masa Majapahit ditemukan sekitar 50 prasasti. Ada yang bisa dibaca, ada yang belum terbaca karena aksaranya aus atau sebagian batu prasasti rusak. Dari prasasti yang bisa dibaca, misalnya Prasasti Balawi (1305 Masehi) diketahui Raden Wijaya bergelar Sri Kertarajasa Jayawisnuwarddhana Anantawikramotunggadewa. Jika diartikan, Kertarajasa bermakna Siwa yang sejahtera, Jayawisnuwarddhana = penerus dewa yang selalu menang (Wisnu), dan Ananta = kepahlawanan yang tiada berakhir dari dewa tertinggi. Â Siwa dan Wisnu merupakan dewa dalam agama Hindu.
Prasasti Gajah Mada atau Singhasari (1292 M dan 1351 Saka) menyebutkan nama Sang Mahamantri Mukha Rakryan Mapatih Mpu Mada dan nama Paduka Bhatara Sang lumah ri Siwabuddha yang identik dengan Raja Kertanegara. Di sini ada penyebutan Siwa-Buddha.
Prasasti Bendosari (dari masa Hayam Wuruk) dan Prasasti Trawulan (1358 Masehi) memuat undang-undang Majapahit yang disebut Kutara Manawa. Undang-undang ini diadaptasi dari Kitab Kutaramanawadharmasastra di India.
Prasasti Kudadu (1294), Sidateka (1323), Bendosari (masa Hayam Wuruk), Trawulan (1358), dan beberapa prasasti tidak bertarikh menyebut istilah dharmadhyaksa kasaiwan (asal kata Saiwa atau Siwa, identik dengan Hindu) dan dharmadhyaksa kasogatan (= kebuddhaan). Tidak ada dharmadhyaksa yang mengacu pada agama lain. Dharmadhyaksa identik dengan hakim tinggi pada masa sekarang.
Semua prasasti ditulis menggunakan tahun Saka. Namun dalam tulisan ini dikonversi menjadi tahun Masehi. Perlu diketahui, selisih tahun Masehi dengan tahun Saka adalah 78 tahun. Jadi, tahun 1294 Masehi = tahun 1216 Saka. Beberapa gelar raja, susunan pejabat tinggi, penataan wilayah, dan konsep teologi juga mengacu kepada kitab Hindu dan/atau Buddha. Sejauh ini tulisan yang merujuk pada tahun Hijriah masih jarang ditemukan, kecuali pada beberapa makam kuno.