Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tulisan pada Prasasti Kuno Terbaca Gajah Mada, Bukan Gaj Ahmada

20 Juni 2017   16:22 Diperbarui: 21 Juni 2017   20:01 6603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tulisan Gajah Mada pada (c) dan (d) dari skripsi Lely (Dokpri)

Beberapa hari terakhir ini nama Majapahit dan Gajah Mada begitu viral di media sosial. Ini gegara Majapahit dikatakan kerajaan Islam. Begitu pun Gajah Mada, sehingga namanya berubah menjadi Gaj Ahmada.

Pada kesempatan ini, saya cuma ingin membahas nama Gajah Mada. Setahu saya, sampai sejauh ini pernah terdapat beberapa prasasti dari Kerajaan Majapahit. Tiga di antaranya menyebut nama Gajah Mada, tentu saja dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Bukan aksara dan bahasa Arab. Kini ketiga prasasti itu menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta.

Prasasti Palungan (1252 Saka atau 1330 Masehi)

Prasasti Palungan pernah dikaji oleh Lely Endah Nurvita di Jurusan Arkeologi UI pada 2002. Prasasti itu ditemukan di Blitar (Jawa Timur) dan berasal dari masa pemerintahanTribhuwana atau lengkapnya Tribhuwanottunggadewi.

Prasasti Palungan di Museum Nasional (Foto: travellersblitar.com)
Prasasti Palungan di Museum Nasional (Foto: travellersblitar.com)
Pada masa Tribhuwana, ditemukan tujuh buah prasasti termasuk prasasti Palungan ini. Prasasti Palungan pernah diteliti oleh N.J. Krom pada 1913 dan L.Ch. Damais pada 1955. Penelitian Krom menghasilkan tanggal dikeluarkannya prasasti, sedangkan penelitian Damais menghasilkan tiga baris alih aksara berupa  unsur-unsur pertanggalan dan nama raja yang mengeluarkan.

Menurut Lely, untuk menyusun sebuah kisah sejarah dibutuhkan unsur waktu, tokoh, peristiwa, dan tempat. Keempat unsur tersebut belum Iengkap digali dan diteliti lebih mendalam. "Untuk dapat mengetahui empat unsur pokok sejarah prasasti Palungan, maka dilakukan alih aksara dan alih bahasa terhadap prasasti tersebut.  Selain itu untuk mengetahui apakah data ini layak atau tidak, maka data harus diuji dengan serangkaian tahap analisis yang dimulai dengan tahap Heuristik, dilanjutkan Kritik Teks (Ekstern dan Intern), Interpretasi, dan Historiografi," begitu kata Lely dalam pengantar skripsinya.

Dari hasil analisis tersebut Lely menyimpulkan bahwa Prasasti Palungan ditulis sesuai dengan zamannya dan bukan merupakan prasasti tiruan atau palsu sehingga Iayak untuk dijadikan data sejarah kuno Indonesia. Prasasti Palungan menyebutkan nama Gajah Mada dengan jelas. Ia menjabat "Patih ring Daha". 

Tulisan Gajah Mada pada (c) dan (d) dari skripsi Lely (Dokpri)
Tulisan Gajah Mada pada (c) dan (d) dari skripsi Lely (Dokpri)
Prasasti Prapancasarapura (1337 Masehi)

Prasasti Prapancasarapura ditemukan di Surabaya. Tarikhnya 1337 Masehi. Disayangkan sebagian besar unsur-unsur penanggalan pada prasasti ini rusak. Bagian atas prasasti hilang, mungkin dipangkas karena patahannya merata. Diperkirakan prasasti ini akan dijadikan potongan balok-balok batu yang lebih kecil. Indikasinya adalah dua pahatan garis melintang dan membujur yang membuat sebagian tulisan menjadi rusak.

Oleh karena bagian atas prasasti sudah hilang, maka hilang pulalah sebagian tulisan yang biasanya memuat unsur penanggalan. Di Museum Nasional, prasasti itu ditandai dengan nomor inventaris D.38.

Prasasti Prapancasarapura di Museum Nasional (Foto: fasttrans22.blogspot.co.id)
Prasasti Prapancasarapura di Museum Nasional (Foto: fasttrans22.blogspot.co.id)
Ada tiga nama penting yang disebut prasasti itu, yakni Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan Adityawarman. Hayam Wuruk, dalam prasasti itu disebut Ayam Wuruk, telah dinobatkan menjadi raja muda (rjakumra) dan mempunyai daerah lungguh di Jwana. Gelarnya adalah Rjasanagara.

Gajah Mada disebut Pu Gajah Mada, menjabat sebagai Rake Mapatih ring Majhapahit. Kelihatannya, karier Gajah Mada sudah menanjak masuk ke "lingkaran (ring) satu" yang dekat dengan pusat kekuasaan di Majapahit. Sebelumnya, menurut prasasti Palungan 1330 M, Gajah Mada masih menjabat sebagai Rake Mapatih ring Daha berkedudukan di Daha, daerah lungguh Rjadew Mahrjasa (Bhre Daha), adik Tribhuwanottunggadewi.

Hasil bacaan epigraf Trigangga dari Museum Nasional: rake mapatih ring majhapahit pu gajah mada (ditandai spidol hitam) (Dok. Trigangga)
Hasil bacaan epigraf Trigangga dari Museum Nasional: rake mapatih ring majhapahit pu gajah mada (ditandai spidol hitam) (Dok. Trigangga)
Selanjutnya nama Adityawarman disebut Aryyadewarja Pu ditya, menjabat sebagai Wddhamantri. Tokoh ini cukup menarik karena mungkin satu-satunya orang non-Jawa yang masuk "ring 1" pusat kekuasaan Majapahit. Begitu cerita Trigangga, ahli epigrafi dari Museum Nasional.

Prasasti Gajah Mada atau Singhasari (1351 Masehi)

Prasasti ketiga adalah Prasasti Gajah Mada. Prasasti ini ditemukan di daerah Singosari, Malang, sehingga disebut juga Prasasti Singhasari.

Prasasti Gajah Mada memiliki 17 baris tulisan hanya pada sisi depan. Kondisi prasasti masih sangat bagus. Pahatan aksaranya sangat dalam sehingga masih sangat jelas terbaca.

Prasasti Gajah Mada atau Singhasari (Dok. Museum Nasional)
Prasasti Gajah Mada atau Singhasari (Dok. Museum Nasional)
Prasasti itu dikeluarkan oleh Sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapatih Mpu Mada pada 1273 Saka (27 April 1351 Masehi). Tujuan pengeluaran prasasti dalam rangka pendirian sebuah bangunan caitya untuk memperingati gugurnya Paduka Bhatara Sang lumah ri Siwabuddha (Raja Kertanegara) bersama para pendeta dan pejabat tinggi kerajaan pada 1214 Saka (1292 Masehi). Demikian yang tertulis dalam buku Prasasti Batu, Pembacaan Ulang dan Alih Aksara (Museum Nasional, 2016).

Nah jelas kan, tulisan pada prasasti kuno menurut ejaan bahasa Jawa Kuno terbaca Gajah Mada, bukan Gaj Ahmada. Kalau Gaj Ahmada tentu beda lagi tulisan dan bacanya. Semoga masyarakat cerdas menyikapi hal ini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun