Boleh dibilang tulisan-tulisan tentang cagar budaya dan museum di media-media cetak dan daring masih amat langka. Entah mengapa, yang banyak kita lihat justru tulisan-tulisan tentang politik dan ekonomi. Padahal, publikasi merupakan sarana penting untuk memperkenalkan sesuatu, termasuk cagar budaya dan museum itu.
Bila publikasi sering dilakukan, bukan tidak mungkin masyarakat akan memberikan apresiasi terhadap cagar budaya dan museum. Selama ini, sebagaimana yang kita baca, dengar, dan lihat lewat berbagai media, memang kerap terjadi pencurian dan vandalisme terhadap cagar budaya. Maklum, banyak cagar budaya berada di pelosok daerah, bahkan tempat-tempat terpencil macam bukit. Museum pun sering dipandang kurang menarik karena kotor, kumuh, gelap, dan seram. Karena itu museum sepi pengunjung, berbeda jauh dengan kondisi mal atau tempat-tempat rekreasi yang ramai pengunjung.
Agar masyarakat melek cagar budaya dan museum, tentu perlu sebuah kegiatan positif. Lewat masyarakat khusus diharapkan kegiatan positif itu bisa disebarkan ke masyarakat lain. Apalagi sejak beberapa tahun lalu muncul istilah Jurnalisme Warga, seiring dengan perkembangan internet dan media sosial. Dalam jurnalisme warga siapa saja boleh menulis, tentu saja yang bukan hoax. Sarana menulis pun sudah tersedia, yakni berupa blog pribadi, blog publik, dan laman berbayar.
Apresiasi masyarakat
Bertolak dari pemikiran itulah sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam komunitas bernama Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI), bekerja sama dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, menyelenggarakan Workshop Penulisan Karya Ilmiah Populer. Kegiatan ini juga didukung Museum Basoeki Abdullah. Para peserta workshop terdiri atas mahasiswa, komunitas, pramuka, dan guru.
Pemaparan materi diberikan oleh Berthold Sinaulan. Ia lama menjadi wartawan Sinar Harapan yang kemudian berubah menjadi Suara Pembaruan. Ia lulusan Jurusan Arkeologi UI. Pengalaman menjadi jurnalis selama 30 tahun itulah yang ia bagikan kepada para peserta.
Populer
Tulisan ilmiah dan tulisan populer jelas berbeda, begitu kata Berthold. Dalam tulisan ilmiah bahasa cenderung kaku dan bersifat teknis, misalnya ada abstrak, pendahuluan, kesimpulan, dan daftar pustaka. Dengan demikian masyarakat awam sulit mengerti tulisan tersebut.
Tulisan populer tidak ada pembagian seperti itu. Namun, agar tidak disebut plagiat, penyebutan sumber tetap dilakukan. Misalnya menurut siapa atau menurut buku apa, ditulis dengan format berbeda daripada tulisan ilmiah.
Untuk menulis di media cetak jelas ada kiat khusus. Ini mengingat media cetak memiliki keterbatasan tempat. Menurut Berthold, penulis harus memperhatikan sistem piramida. Artinya bagian yang dianggap penting ditulis pada bagian awal. Bagian-bagian yang kurang penting ditulis pada bagian selanjutnya. Melalui sistem piramida ini, redaktur atau editor tinggal membuang tulisan dari paling belakang untuk menyesuaikan tempat pada media cetak. Namun tidak demikian dengan media daring. Pada media ini tidak ada keterbatasan tempat. Jadi tulisan boleh panjang.
Jenis media juga diuraikan Berthold. Misalnya demikian, kalau ingin menulis tentang Festival Istiqlal tentu yang harus dipilih adalah media Muslim karena cocok dengan tema. Setelah sesi tanya jawab, kegiatan dilanjutkan dengan jelajah museum. Peserta dibagi dalam dua rombongan.
Usai jelajah museum yang dipandu staf Museum Basoeki Abdullah, dilakukan praktik penulisan. Peserta terbaik untuk postingan foto dan penulisan caption memperoleh hadiah buku dari Museum Basoeki Abdullah. Â Begitu juga dua peserta terbaik dalam praktik penulisan.
Kegiatan diakhiri dengan buka puasa bersama. Panitia dan peserta berbaur menjadi satu. Semoga kegiatan selama lima jam itu membawa hasil positif. Sampai berjumpa dalam acara berikutnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H