Kita memiliki beragam suku bangsa dari Aceh sampai Papua. Tiap suku bangsa tentu memiliki kebudayaan. Tiap kebudayaan itu bisa dijual kepada wisatawan, baik dalam bentuk festival maupun kegiatan lain. Memperkenalkan kebudayaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, wajar saja dilakukan. Â
Bali sudah mampu menjual kebudayaan. Atraksi-atraksi budaya untuk kepentingan pariwisata kerap dilakukan di sana. Termasuk juga ngaben atau ritual pembakaran mayat.
Masyarakat kita berdasarkan keterampilan turun-temurun, saya yakin pandai menenun dan membuat kerajinan. Hasil kreasi mereka bisa dijual melalui desa adat, misalnya. Melalui kegiatan pariwisata, apalagi ada wisata budaya, bukan tidak mungkin perekonomian masyarakat akan terangkat.
Sesungguhnya karya budaya bisa berharga mahal. Banyak pelaku atau pekerja budaya sudah merasakan hal tersebut. Ambil contoh saja besarnya honorarium yang diterima para pekerja budaya seperti penyanyi Kris Dayanti, dalang Ki Manteb Sudarsono, penari Didi Nini Thowok, dan pelawak Sule. Penghasilan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji para ilmuwan, termasuk profesor. Jelas, betapa masyarakat menghargai kebudayaan.
Kebudayaan kita yang amat banyak dan beragam memang kurang ditangani secara profesional dan sungguh-sungguh. Bukan tidak mungkin nantinya kebudayaan merupakan tambang emas untuk mengeruk devisa. Mampukah kita, itulah pertanyaan yang perlu dijawab.***