Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengeruk Devisa Lewat Kebudayaan, Mampukah Kita?

1 Juni 2017   08:43 Diperbarui: 2 Juni 2017   03:45 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Gadang di Sumatera Barat, peninggalan budaya leluhur yang masih lestari hingga kini (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Kita memiliki beragam suku bangsa dari Aceh sampai Papua. Tiap suku bangsa tentu memiliki kebudayaan. Tiap kebudayaan itu bisa dijual kepada wisatawan, baik dalam bentuk festival maupun kegiatan lain. Memperkenalkan kebudayaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, wajar saja dilakukan.  

Bali sudah mampu menjual kebudayaan. Atraksi-atraksi budaya untuk kepentingan pariwisata kerap dilakukan di sana. Termasuk juga ngaben atau ritual pembakaran mayat.

Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Sumatera Barat selalu menjadi atraksi wisata (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Sumatera Barat selalu menjadi atraksi wisata (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Daerah-daerah lain kita lihat menampilkan Festival Asmat, Festival Jember, dan Tour de Singkarak, misalnya. Karena memiliki banyak suku bangsa, tentu kita masih bisa menjual adat dan tradisi suku-suku bangsa lain.

Masyarakat kita berdasarkan keterampilan turun-temurun, saya yakin pandai menenun dan membuat kerajinan. Hasil kreasi mereka bisa dijual melalui desa adat, misalnya. Melalui kegiatan pariwisata, apalagi ada wisata budaya, bukan tidak mungkin perekonomian masyarakat akan terangkat.

Sesungguhnya karya budaya bisa berharga mahal. Banyak pelaku atau pekerja budaya sudah merasakan hal tersebut. Ambil contoh saja besarnya honorarium yang diterima para pekerja budaya seperti penyanyi Kris Dayanti, dalang Ki Manteb Sudarsono, penari Didi Nini Thowok, dan pelawak Sule. Penghasilan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji para ilmuwan, termasuk profesor. Jelas, betapa masyarakat menghargai kebudayaan.

Kebudayaan kita yang amat banyak dan beragam memang kurang ditangani secara profesional dan sungguh-sungguh. Bukan tidak mungkin nantinya kebudayaan merupakan tambang emas untuk mengeruk devisa. Mampukah kita, itulah pertanyaan yang perlu dijawab.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun