Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perabotan Gedung Kesenian Jakarta yang Hilang Perlu Dilacak

26 Mei 2017   05:32 Diperbarui: 27 Mei 2017   13:34 1914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Kesenian Jakarta, masih ada patung (Foto: media-kitlv.nl)

Jakarta merupakan kota di Indonesia yang pernah mengalami perjalanan sejarah panjang. Hal ini antara lain dibuktikan dengan masih terlestarikannya sejumlah bangunan masa lampau, meskipun lebih banyak bangunan yang dihancurkan dengan dalih demi pembangunan. Umpamanya saja Hotel des Indes yang telah berganti rupa menjadi Duta Merlin di bilangan Jalan Gajah Mada dan Hotel der Nederlanden yang menjadi Gedung Bina Graha di bilangan Jalan Veteran.

Sebagai kota yang berperan besar dalam sejarah, sudah tentu Jakarta banyak didatangi warga asing dari Eropa dan Asia, utamanya Belanda dan Tiongkok. Jangan heran kalau keberadaan mereka sangat berpengaruh pada bangunan-bangunan yang ditinggalkan.

Masih berfungsi

Sampai kini memang masih terlihat banyak bangunan kuno masa penjajahan tetap berdiri megah. Jadi bukan hanya dokumen tertulis atau gambar yang bisa diwariskan kepada anak cucu, melainkan peninggalan aslinya. Hal seperti inilah yang seharusnya terjadi, sebagai harmonisasi dari kisah sejarah dan bukti otentik warisan sejarah.

Meskipun pembangunan fisik di Jakarta tergolong sangat pesat—yang  berdampak pada perusakan, perobohan, dan penghilangan paksa bangunan kuno bersejarah, termasuk situs arkeologi—sejumlah bangunan kuno berhasil diselamatkan dari kehancuran. Salah satunya adalah Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Bangunan yang terletak di kawasan Pasar Baru ini sampai sekarang masih berfungsi. Dulu, upaya pelestariannya ditangani sungguh-sungguh lewat pemugaran pada 1986-1988.

Menurut sejarahnya, pada zaman kolonial GKJ bernama Schouwburg. Namun masyarakat waktu itu menyebutnya Gedung Komidi. Sebelum dipugar, gedung ini pernah disewakan kepada pihak swasta untuk dijadikan gedung bioskop bernama City Theater. Selama bertahun-tahun City Theatermenjadi tempat hiburan papan atas masyarakat Jakarta yang menggemari film-film Mandarin. Sayang, setelah masuknya jaringan 21, nama City Theater memudar perlahan-lahan.

Pendirian gedung kesenian di Batavia ketika itu, tidak terlepas dari peran Raffles,  Gubernur Jendral Inggris di Hindia Belanda yang dikenal menyenangi bidang kebudayaan. Dia berkuasa di Tanah Jawa pada 1811-1816. Gagasan pendirian Schouwburg bermula dari ulah iseng para tentara Inggris.

Konon, untuk membunuh waktu di kala senggang, mereka membuat gedung pertunjukan yang amat sederhana. Bangunan tersebut hanya berbahan bambu dan rumbia. Di tempat itu mereka kerap mementaskan drama untuk menghibur kolega-kolega mereka sendiri. Karena itu, pada awalnya gedung tersebut disebut Militaire Theatre.

Sepeninggal Inggris, gedung itu dimanfaatkan Belanda. Pengelolaannya diserahkan kepada sebuah perkumpulan Ut Desint. Perkumpulan itu juga yang memrakarsai usaha pembangunan gedung baru yang permanen, pengganti gedung lama yang mulai reyot dan rapuh.

Ternyata, prakarsa tersebut mendapat sambutan baik dari segenap warga Batavia kelas atas yang haus hiburan. Alasannya sederhana saja, waktu itu tempat hiburan sangat langka. Selain Societeit de Harmonie, yang sekarang sudah dirobohkan untuk perluasan lahan parkir Gedung Sekretariat Negara, memang tak ada sarana lain untuk bersantai dan menghibur diri.

Gaya Yunani Baru

Pembangunan gedung berukuran sekitar 18 meter x 43 meter itu mulai berlangsung pada 1820. Perencananya adalah pihak militer Belanda, sementara pelaksanaan pembangunan dipercayakan kepada seorang anemer Tionghoa bernama Lie Atjie. Gaya bangunan yang diambil adalah Yunani Baru, yang merupakan perkembangan dari gaya Rokoko. Kala itu, gaya Yunani Baru memang sedang menjadi trend di banyak negara.

Gedung Schouwburg diresmikan pemakaiannya pada 1821. Yang dianggap paling indah dan mengesankan dari Schouwburg adalah interior bagian dalamnya. Dekorasi, perabotan, panggung, dan sistem penerangannya konon diatur dengan cita rasa tinggi. Tidak heran kalau biaya yang harus dikeluarkan untuk semua itu melebihi separuh biaya pembangunan keseluruhannya (Batavia, 1988).

Selama beberapa tahun pengelola Schouwburg pernah mengalami krisis keuangan. Terutama semasa meletusnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Karena situasi perekonomian di Jawa semakin jelek, terpaksa pemerintah banyak melakukan penghematan.

Namun pada 1835 Schouwburg mulai hidup kembali. Selain dipakai sebagai tempat pertunjukan drama dan opera, Schouwburg juga digunakan sebagai tempat pergelaran musik dan wayang orang. Bahkan sejak 1921 pertunjukan wayang orang ditampilkan secara rutin empat kali setahun.

Sayang, kemegahan Schouwburg mulai meredup pada zaman pendudukan Jepang. Selama beberapa tahun, kegiatan kesenian kosong total. Artinya, tempat itu tidak berfungsi sebagai gedung pertunjukan kesenian, melainkan beralih sebagai markas tentara. Yang lebih menyedihkan, satu per satu perabotan di dalam gedung itu raib entah ke mana. Ada yang menduga, barang-barang itu dijual oleh tentara Jepang. Mungkin juga dijarah atau dihancurkan warga pribumi.

Pada April 1943 Schouwburg dikembalikan pada fungsi semula sebagai gedung pertunjukan dengan nama Siritsu Gekizyoo. Selanjutnya gedung ini pernah digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan politik. Pada 29 Agustus 1945, misalnya, di gedung ini diselenggarakan sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang antara lain dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.  

Patung

Salah satu ciri khas Schouwburg adalah banyaknya jendela besar di kiri kanan bangunan. Jendela ini tidak ditutup kaca tetapi hanya dengan kawat nyamuk hitam yang kedap sinar sehingga memungkinkan udara segar dari luar bisa masuk.

Gedung Kesenian Jakarta, patung sudah tidak ada (Foto: jakarta.go.id)
Gedung Kesenian Jakarta, patung sudah tidak ada (Foto: jakarta.go.id)
Sebelum pemugaran, pada jendela bagian dalam terdapat hiasan dua patung, mungkin berujud dewi Yunani. Namun, seusai pemugaran kedua patung itu tak tampak lagi. Malah kedua jendela sudah ditutup dengan batu, sehingga hanya membentuk jendela semu.

Patut dipertanyakan, siapa atau instansi mana yang menyimpan kedua patung itu. Idealnya patung itu menjadi koleksi Museum Sejarah Jakarta. Namun patung tersebut tidak terlihat di antara jajaran koleksi. Menurut info, dulu pelaksana pemugaran adalah Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran (DTBP) di Tanah Abang. Mungkinkah DTBP menyimpan kedua patung tersebut dan barang-barang berharga lainnya?

Sebaiknya instansi berwenang melacak barang-barang kuno yang pernah tercecer dari GKJ. Selain kedua patung itu, koleksi lainnya berupa lampu-lampu kristal, kursi-kursi pejabat, dan etalase café. Bukan tidak mungkin, barang-barang kuno itu masih bisa ditemukan kembali, paling tidak terlacak keberadaannya sehingga menambah bahan-bahan kesejarahan GKJ sendiri dan Jakarta umumnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun