Pembangunan gedung berukuran sekitar 18 meter x 43 meter itu mulai berlangsung pada 1820. Perencananya adalah pihak militer Belanda, sementara pelaksanaan pembangunan dipercayakan kepada seorang anemer Tionghoa bernama Lie Atjie. Gaya bangunan yang diambil adalah Yunani Baru, yang merupakan perkembangan dari gaya Rokoko. Kala itu, gaya Yunani Baru memang sedang menjadi trend di banyak negara.
Gedung Schouwburg diresmikan pemakaiannya pada 1821. Yang dianggap paling indah dan mengesankan dari Schouwburg adalah interior bagian dalamnya. Dekorasi, perabotan, panggung, dan sistem penerangannya konon diatur dengan cita rasa tinggi. Tidak heran kalau biaya yang harus dikeluarkan untuk semua itu melebihi separuh biaya pembangunan keseluruhannya (Batavia, 1988).
Selama beberapa tahun pengelola Schouwburg pernah mengalami krisis keuangan. Terutama semasa meletusnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Karena situasi perekonomian di Jawa semakin jelek, terpaksa pemerintah banyak melakukan penghematan.
Namun pada 1835 Schouwburg mulai hidup kembali. Selain dipakai sebagai tempat pertunjukan drama dan opera, Schouwburg juga digunakan sebagai tempat pergelaran musik dan wayang orang. Bahkan sejak 1921 pertunjukan wayang orang ditampilkan secara rutin empat kali setahun.
Sayang, kemegahan Schouwburg mulai meredup pada zaman pendudukan Jepang. Selama beberapa tahun, kegiatan kesenian kosong total. Artinya, tempat itu tidak berfungsi sebagai gedung pertunjukan kesenian, melainkan beralih sebagai markas tentara. Yang lebih menyedihkan, satu per satu perabotan di dalam gedung itu raib entah ke mana. Ada yang menduga, barang-barang itu dijual oleh tentara Jepang. Mungkin juga dijarah atau dihancurkan warga pribumi.
Pada April 1943 Schouwburg dikembalikan pada fungsi semula sebagai gedung pertunjukan dengan nama Siritsu Gekizyoo. Selanjutnya gedung ini pernah digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan politik. Pada 29 Agustus 1945, misalnya, di gedung ini diselenggarakan sidang pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang antara lain dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Â
Patung
Salah satu ciri khas Schouwburg adalah banyaknya jendela besar di kiri kanan bangunan. Jendela ini tidak ditutup kaca tetapi hanya dengan kawat nyamuk hitam yang kedap sinar sehingga memungkinkan udara segar dari luar bisa masuk.
Patut dipertanyakan, siapa atau instansi mana yang menyimpan kedua patung itu. Idealnya patung itu menjadi koleksi Museum Sejarah Jakarta. Namun patung tersebut tidak terlihat di antara jajaran koleksi. Menurut info, dulu pelaksana pemugaran adalah Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran (DTBP) di Tanah Abang. Mungkinkah DTBP menyimpan kedua patung tersebut dan barang-barang berharga lainnya?
Sebaiknya instansi berwenang melacak barang-barang kuno yang pernah tercecer dari GKJ. Selain kedua patung itu, koleksi lainnya berupa lampu-lampu kristal, kursi-kursi pejabat, dan etalase café. Bukan tidak mungkin, barang-barang kuno itu masih bisa ditemukan kembali, paling tidak terlacak keberadaannya sehingga menambah bahan-bahan kesejarahan GKJ sendiri dan Jakarta umumnya.***