Selasa, 23 Mei 2017 Museum Sumpah Pemuda menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Kebhinnekaan di atas Keberagaman”. Diharapkan tema ini akan menggugah kembali semangat sumpah pemuda yang memprioritaskan kebhinnekaan di atas keberagaman yang saat ini mulai banyak dipersoalkan.
Seminar Nasional dihadiri sekitar 150 peserta yang terdiri atas dosen, mahasiswa, guru, komunitas, dan instansi terkait. Beberapa peserta datang dari luar Jakarta. Menurut Kepala Museum Sumpah Pemuda, Huriyati, seminar ini memiliki empat tujuan.
Pertama, memperkenalkan Museum Sumpah Pemuda kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Kedua, meningkatkan apresiasi generasi muda khususnya pelajar SD, SMP, dan SMA terhadap nilai yang dikandung daqlam sejarah Sumpah Pemuda. Ketiga, menggugah generasi muda dalam menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan serta cinta tanah air. Keempat, meningkatkan kepedulian generasi muda terhadap museum, khususnya Museum Sumpah Pemuda.
Seminar tersebut dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Dr. Hilmar Farid, yang kemudian memberikan pengarahan.
Komunikasi
Seminar Nasional terdiri atas dua sesi. Pada sesi pertama berbicara Adhyaksa Dault, Hasjim Djalal, dan Roesdhy Hoesein. Menurut Adhyaksa kita harus melihat masa lampau. Adhyaksa mengibaratkan negara kita dengan rumah, rumah besar NKRI. Di dalam rumah itu ada 34 kamar, yang menunjukkan jumlah provinsi. Di dalam rumah itu pun ada kamar-kamar untuk partai politik. Sayang semuanya berkutat di kamar masing-masing. Seharusnya, menurut Adhyaksa, kita juga harus memperhatikan dapur, ruang tamu, dan sebagainya.
Pentingnya komunikasi, itulah yang ditekankan Adhyaksa. Jadi antarkamar harus ada komunikasi, begitu kira-kira Adhyaksa menjabarkan. Menurut Adhyaksa, supaya bangsa ini bisa selamat, tentu saja kita harus berbuat sesuatu.
Pada bagian lain Ketua Kwartir Nasional Pramuka itu mengatakan, Presiden pertama kita Soekarno mempunyai kelebihan dan kekurangan. Nah kita ambil kelebihannya. Begitu pula terhadap presiden-presiden lain. “Jangan sampai kita malah mencari-cari kekurangan mereka,” begitu Adhyaksa.
Setelah Deklarasi Juanda 1957, laut wilayah Indonesia dinyatakan menjadi 12 mil diukur dari garis-garis dasar/pangkal yang mengelilingi seluruh Nusantara Indonesia, bukan dari garis pantai setiap pulau.
Selanjutnya berbicara Roesdhy Hoesein. Ia mengatakan sebuah negara cukup memiliki syarat adanya wilayah, adanya rakyat, dan adanya pemerintahan. “Perjuangan rakyat yang awalnya merupakan upaya melalui usaha kedaerahan, secara fisik dan tidak simultan menyeluruh, kemudian mampu mengorganisir diri untuk melawan penjajahan,” kata Roesdhy.
Pada sesi kedua penyampaian makalah dilakukan oleh Prof. Djoko Marihandono, Dr. Wardiman Djojonegoro, dan staf Kemenpora. Prof. Djoko menulis makalah “Sumbangan Pemikiran Soekarno dan Moh. Hatta dalam Kongres Pemuda”. Sementara Dr. Wardiman Djojonegoro menulis “Satu Bahasa dalam Kebhinnekaan dan Keberagaman”.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H