Adanya museum bermula dari kegemaran segelintir orang di Eropa untuk mengumpulkan benda-benda yang dipandang aneh, unik, indah, dan langka. Tidak segan-segan mereka melintasi batas negaranya untuk memuaskan kegemaran tersebut.
Setelah terkumpul banyak, koleksi-koleksi tersebut ditempatkan dalam lemari-lemari khusus di dalam rumah mewah atau istana mereka. Mereka mengamati, mengagumi, bahkan memeras keterangan dari koleksi-koleksi tersebut. Belum puas dengan itu, antarkolektor saling bertukar kunjungan.
Itulah museum yang paling sederhana berupa ruang peragaan. Benih-benih museum muncul kemudian setelah mereka menyadari bahwa koleksi-koleksi tersebut perlu dirawat atau dibersihkan dan diperlihatkan kepada publik.
Maka kemudian berkembanglah ilmu museologi yang bersifat interdisipliner. Mereka yang mendalami museologi harus mempelajari ilmu-ilmu arkeologi, sejarah, antropologi, kimia, seni, dan lain-lain.
Museum terus berubah ke arah yang lebih baik seiring perkembangan teknologi dan keinginan publik. Dulu museum hanya bertugas melestarikan peninggalan-peninggalan lama yang tidak ditemukan lagi pada masa kemudian. Namun selanjutnya museum berorientasi publik, artinya museum menyajikan informasi yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan segala lapisan masyarakat. Bahkan dicanangkan menjadi lembaga yang bersifat kultural edukatif.

Selama ini kebanyakan museum dikelola oleh institusi pemerintah. Inilah yang menyebabkan pengelolaan museum tidak maksimal karena tergantung APBN/APBD. Bekerja di museum pun dianggap orang buangan. Di berbagai daerah memang nama museum belum populer. Maka pejabat daerah yang pernah kena kasus hampir selalu dilempar ke instansi museum, istilahnya dimuseumkan.
Citra inilah yang menyebabkan nama museum tetap memudar. Di pihak lain museum dituntut menyumbang PAD yang lumayan besar. Sebaliknya, dana yang dikucurkan lewat APBD untuk memperbaiki museum relatif kecil. Sementara pusat hanya bisa memberikan bantuan dengan skala prioritas.
Di luar Jawa bahkan museum menjadi ‘anak tiri”. Beberapa pemda justru tidak mendukung perbaikan museum lewat APBD karena dianggap hanya membuang-buang uang. Untuk itulah kita perlu punya pemimpin yang melek museum, sekaligus mengerti sejarah dan budaya.

Lain dari itu museum bersifat benefit (manfaat pengetahuan), bukan profit (keuntungan finansial). Jangan heran kalau museum-museum di lingkungan pemerintah masih ditunjang dana APBN dan APBD. Sejak lama, tak satu pun museum mampu menghidupi dirinya hanya dari penghasilan karcis masuk. Pengeluaran museum selalu lebih besar daripada pemasukan.
Kiranya perlu ada terobosan baru untuk melibatkan publik, dalam hal ini perusahaan swasta atau BUMN. Banyak dari perusahaan itu memiliki dana CSR untuk bidang pendidikan dan kebudayaan. Mereka perlu diberi arahan agar memberikan apresiasi untuk menaikkan harkat dan derajat museum.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI