Tadi pagi berlangsung Seminar Merajut Kebinekaan bertema “Kebinekaan Warisan Budaya Nusantara dalam Tantangan Masa Kini dan Mendatang”. Pilihan kebinekaan mengacu pada penyelenggaraan pilkada di beberapa wilayah, utamanya di Jakarta. Pilkada tersebut mengusik kesadaran sebagian masyarakat akan hal yang mendasar sebagai bangsa Indonesia, yaitu “akankah kita terpecah belah oleh perbedaan sejenak?”
Kebinekaan SARA yang menjadi identitas bangsa Indonesia “dipreteli”, digolong-golongkan, dan dikembalikan ke asal-muasalnya. Perbedaan yang semula berdampingan menjadi berhadapan, dan yang tadinya melengkapi menjadi menegasi. Sebutan mayoritas versus minoritas menjadi topik bahasan di diskusi, seminar, kampanye, acara televisi, media sosial, warung kopi, dan lain-lain. Mestikah kita diam? Nah, begitulah alasan penyelenggaraan seminar sebagaimana yang tertulis dalam brosur.
Seminar Merajut Kebinekaan diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jabodetabek di Balai Agung. Para pembicara terdiri atas ahli genetika Prof. dr. Herawati Supolo-Sudoyo, membahas asal-usul orang Indonesia dari sudut pandang genetika; ahli arkeologi Prof. (Ris) Harry Truman Simanjuntak, membahas keberagaman budaya Indonesia masa lampau yang menunjukkan wujud keharmonisan budaya; dan dan antropolog Dr. Kartini Sjahrir, membahas perubahan budaya Indonesia hasil interaksi berbagai budaya dunia. Sebagai moderator Dr. Wiwin Djuwita Ramelan, pengajar Departemen Arkeologi UI.
Genneka Tunggal Ika
Prof. Herawati membawakan makalah bertopik Genneka Tunggal Ika, maksudnya Aneka Gen, Satu Indonesia. Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ini, mengaitkan DNA dengan asal nenek moyang. Lalu ia menggunakan sebaran penutur bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa di Nusantara, katanya, umumnya berasal dari rumpun Austronesia. Jumlahnya ada 700-an bahasa. Menggunakan temuan arkeologi, menurut Herawati, Nusantara telah didiami manusia modern 50.000 tahun lalu.
Selanjutnya Truman Simanjuntak mengatakan bukti-bukti arkeologi dengan jelas memperlihatkan kebinekaan manusia dan budaya Nusantara di sepanjang perjalanan waktu. Sejak kedatangan Homo erectus, manusia kepulauan pertama di dunia, jutaan tahun yang lalu, kebinekaan sudah berkembang baik dalam tampilan fisik manusia maupun budayanya sebagai hasil proses adaptasi dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Kebinekaan berlanjut seiring kedatangan manusia modern puluhan ribu tahun yang lalu yang kemudian menurunkan ras Australomelanesid sejak akhir Zaman Es. “Kebinekaan semakin berkembang menyusul kedatangan ras Monggolid yang bertutur Bahasa Austroasiatik dan kemudian penutur Austronesia di bilangan empat ribu tahun lalu,” jelas Truman.
Antropolog Kartini Sjahrir menilai konstruksi sosial NKRI adalah kemajemukan, seperti ragam etnis, golongan, aliran kepercayaan, bentuk fisik, dan adat. Kartini mengritik istilah pribumi dan nonpribumi yang dikatakannya kebodohan yang mendasar, ibarat si Malin Kundang lupa ibunya.
Pada bagian lain Kartini menilai pilkada 2017 merupakan pilkada yang paling busuk. “Ini pembelajaran bagi kita semua siapa nenek moyang kita, termasuk konflik mengatasnamakan ras dan agama. Jangan mempermainkan kemajemukan kita. Perbedaan itu untuk kita kelola, bukan pertentangkan,” katanya. Ditambahkan, inilah kemunduran cara berpikir. Agama itu bukan ciptaan kita, berasal dari luar dan kita terima.
Kita betul-betul mundur, demikian Kartini. Soalnya agama, intoleransi, diskriminasi etnis, dipaksa untuk mencerna sesuatu. Ini patut diwaspadai juga pada pilpres mendatang.
Cukup seru seminar kebinekaan ini. Yang hadir sekitar 500 orang, bukan hanya arkeolog dan antropolog tetapi para mahasiswa, guru, dosen, dan masyarakat cinta damai.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H