Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengembalikan Ciliwung sebagai Sungai Terbersih di Dunia sebagaimana Tercatat dalam Sejarah

11 Mei 2017   18:40 Diperbarui: 13 Mei 2017   12:34 3662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan oranye sedang membersihkan Ciliwung (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)

Paling tidak ada dua pertanyaan mendasar yang jawabannya mesti sama. Pertama, di manakah terdapat tempat pembuangan sampah terbesar di dunia? Kedua, di manakah terdapat jamban terapung terpanjang di dunia?

Jawabannya tidak lain adalah Sungai (Kali) Ciliwung. Hal ini jelas tergambar dari   berton-ton sampah yang selalu menyangkut di sejumlah pintu air setiap harinya. Tentu ada benarnya pula kalau ditafsirkan bahwa nama Betawi berasal dari mambet dan tai.

Seiring makin derasnya arus urbanisasi ke Jakarta, maka makin banyak pula  rumah-rumah kumuh yang didirikan di bantaran sungai.  Dampak yang paling dirasakan adalah semakin banyaknya sampah yang dibuang penduduk ke sungai, baik sampah rumah tangga maupun sampah perut.

Jelas keadaan Ciliwung sekarang amat kontradiktif dengan Ciliwung masa lampau. Catatan sejarah menyebutkan pada masa lampau Ciliwung merupakan sumber kehidupan utama masyarakat karena berbagai aktivitas dilakukan di sini. Mulai dari keperluan rumah tangga sehari-hari hingga jalur perdagangan internasional. Ciliwung mulai berperan sejak zaman purba, ketika manusia prasejarah  menghuni Jakarta.

Puncaknya terjadi ketika pelabuhan Sunda Kelapa terdapat di muara Ciliwung ini. Konon diberitakan pada abad XV dan XVI pelabuhan Sunda Kelapa telah dikenal luas oleh pedagang-pedagang seantero Nusantara dan internasional. Orang-orang Belanda yang datang paling awal antara lain menulis, “Kota ini dibangun seperti kebanyakan kota-kota di Pulau Jawa. Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota” (Hikayat Jakarta, 1988).

Rumah kumuh di bantaran Ciliwung (Foto: megapolitan.kompas.com)
Rumah kumuh di bantaran Ciliwung (Foto: megapolitan.kompas.com)
Pelabuhan Sunda Kelapa dikatakan ramai didatangi pedagang, meskipun terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit. Namun setelah dibersihkan, Ciliwung menjadi lebar. Hal ini memungkinkan sepuluh buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa.

Sumber lain menyebutkan, air Ciliwung waktu itu mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Meskipun gempa-gempa besar sempat mengacaukan aliran pembuangan air,  Ciliwung tidak seberapa tercemar. Karena itu banyak kapten kapal masih singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik, untuk diisikan ke dalam botol-botol dan guci-guci mereka.

Sejak kedatangan bangsa Belanda, maka Batavia (nama pengganti Sunda Kelapa) dibangun seperti tata letak kota-kota di Belanda, yakni berupa tembok kota, parit, dan berderet-deret rumah. Dengan demikian, menurut Jean-Baptiste Tavernier sebagaimana dikutip van Gorkom, Ciliwung memiliki air yang paling bersih dan paling baik di dunia (Persekutuan Aneh, 1988).

Tidak berlebihan kalau ketika itu Batavia mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak orang asing yang datang, tak segan-segan memberikan sanjungan yang tinggi kepada Batavia. Bahkan menyamakannya dengan negara-negara maju di Eropa.

Pada saat dibangun Belanda itu, kota Batavia berbentuk bujur sangkar dengan panjang kira-kira 2.250 meter dan lebar 1.500 meter. Kota ini terbelah oleh Ciliwung menjadi dua bagian yang hampir sama besar. Masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit-parit yang saling sejajar dan saling simpang. Sejumlah jalan juga dibangun sehingga penampang kota berpola kisi-kisi. Pola seperti inilah yang dipandang mampu melawan amukan air di kala laut pasang dan banjir di dalam kota karena air akan saling berpencar ke segala penjuru.

Bencana Ekologi

Diperkirakan Ciliwung mulai tercemar pada 1699 ketika Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsi gunung itu berdampak besar sekali, antara lain menyebabkan iklim di Batavia menjadi buruk. Selain itu kabut menggelantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Batavia pun selanjutnya berganti julukan menjadi “Kuburan dari Timur”, bukan lagi “Ratu dari Timur”.

Pasukan oranye sedang membersihkan Ciliwung (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Pasukan oranye sedang membersihkan Ciliwung (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Sejak itu Ciliwung mulai kotor. Masyarakat memandangnya sebagai bencana ekologi. Banyak pihak kemudian saling tuding terhadap bencana ekologi tersebut. Mereka bukannya memasalahkan kebijakan Kompeni atau VOC sendiri, tetapi justru cenderung menuding para pendahulunya. Mereka dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kata para penentang.

Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu Batavia mempunyai magnet kuat.

Untuk menanggulangi bencana ekologi itu, pemerintah berharap banyak dengan cara membudidayakan tanaman tebu di hutan-hutan yang baru dibuka. Ternyata perhitungan itu meleset. Budi daya tebu malah mencemari air dan menanduskan tanah. Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu tentu saja ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia, sekaligus mengurangi daerah resapan air.

Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Akibatnya sebagai daerah yang terletak di tepi laut,  Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.

Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Diberitakan, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Beberapa tahun kemudian  penduduk kota meningkat menjadi 500.000 orang.

Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon,danrawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka.  Begitu pula adanya wilayah yang berawalan kampung.

Dulu istilah kampung mengacu pada sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal. Karena sanitasi di kampung tidak bagus, maka banyak warga membuang hajat dan sampah sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air banjir menjadi sangat kotor.

Ciliwung semakin bersih (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Ciliwung semakin bersih (Foto: Dinas Kebersihan DKI Jakarta)
Karena kepadatan penduduk dan makin minimnya daerah resapan, banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932. Banjir itu merupakan siklus 25 tahunan, penyebabnya waktu itu adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).

Mudah-mudahan julukan Ciliwung sebagai sungai terkotor di dunia tidak bertahan lama. Ciliwung kembali bersih seperti yang diutarakan pelaut-pelaut Eropa pada abad belasan. Bukankah sungai yang bersih seperti di Eropa akan mampu menjaring banyak wisatawan? Bahkan bisa dijadikan jalur transportasi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta?

Sejak dua tahun lalu pasukan oranye yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok giat membersihkan Ciliwung. Sungainya semakin jernih dan lingkungannya pun tidak kumuh lagi. Semoga sedikit demi sedikit Ciliwung menjadi kebanggaan Jakarta, bahkan Indonesia. Kita perlu mengembalikan Ciliwung menjadi sungai terbersih di dunia sebagaimana yang tercatat dalam sejarah.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun