Diperkirakan Ciliwung mulai tercemar pada 1699 ketika Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsi gunung itu berdampak besar sekali, antara lain menyebabkan iklim di Batavia menjadi buruk. Selain itu kabut menggelantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Batavia pun selanjutnya berganti julukan menjadi “Kuburan dari Timur”, bukan lagi “Ratu dari Timur”.
Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu Batavia mempunyai magnet kuat.
Untuk menanggulangi bencana ekologi itu, pemerintah berharap banyak dengan cara membudidayakan tanaman tebu di hutan-hutan yang baru dibuka. Ternyata perhitungan itu meleset. Budi daya tebu malah mencemari air dan menanduskan tanah. Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu tentu saja ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia, sekaligus mengurangi daerah resapan air.
Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Akibatnya sebagai daerah yang terletak di tepi laut, Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.
Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Diberitakan, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Beberapa tahun kemudian penduduk kota meningkat menjadi 500.000 orang.
Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon,danrawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka. Begitu pula adanya wilayah yang berawalan kampung.
Dulu istilah kampung mengacu pada sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal. Karena sanitasi di kampung tidak bagus, maka banyak warga membuang hajat dan sampah sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air banjir menjadi sangat kotor.
Mudah-mudahan julukan Ciliwung sebagai sungai terkotor di dunia tidak bertahan lama. Ciliwung kembali bersih seperti yang diutarakan pelaut-pelaut Eropa pada abad belasan. Bukankah sungai yang bersih seperti di Eropa akan mampu menjaring banyak wisatawan? Bahkan bisa dijadikan jalur transportasi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta?
Sejak dua tahun lalu pasukan oranye yang dibentuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok giat membersihkan Ciliwung. Sungainya semakin jernih dan lingkungannya pun tidak kumuh lagi. Semoga sedikit demi sedikit Ciliwung menjadi kebanggaan Jakarta, bahkan Indonesia. Kita perlu mengembalikan Ciliwung menjadi sungai terbersih di dunia sebagaimana yang tercatat dalam sejarah.***