Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Banyak Situs Kuno di Jakarta Lenyap karena Pembangunan Tidak Terencana

24 April 2017   07:41 Diperbarui: 25 April 2017   04:00 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan penggalian arkeologi di Jakarta (Foto: Dinas Museum dan Sejarah, 1983)

Dibandingkan dengan situs-situs prasejarah lain, temuan dari situs Buni terbilang sangat menonjol. Para arkeolog menganggap situs Buni merupakan sebuah kompleks kebudayaan gerabah. Bahkan gerabah dari situs ini banyak ditemukan bersama tulang-belulang manusia, yang menurut penelitian pakar paleoantropologi Prof. Teuku Jacob (alm), berasal dari ras Australomelanesid dan ras Mongolid. Diperkirakan, mereka adalah manusia prasejarah sebagai penghuni pertama kota Jakarta.

Menurut penelitian 2005/2006, sebagaimana dikemukakan arkeolog Sonny Wibisono dan Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, penemuan sejumlah artefak dan fosil manusia di situs Buni memiliki saling keterkaitan. Selama dua tahun itu berhasil diperoleh 32 individu fosil manusia. Diperkirakan fosil dan barang-barang temuan itu berasal dari masa 200 SM hingga 200 M.

Selain Buni, situs-situs yang sudah dikenali antara lain Kampung Kramat, Pejaten, Condet-Balekambang, Kelapa Dua, Lenteng Agung, dan Ciganjur. Di wilayah Bogor, ada situs Bukit Sangkuriang dan Bukit Kucong. Menariknya, di situs Bukit Sangkuriang tim arkeologi pernah menemukan keramik China dalam jumlah cukup besar. Keramik tertua berasal dari zaman dinasti Sung (abad ke-10—13) dan yang termuda berasal dari zaman dinasti Ching (abad ke-17—19). Dengan demikian seharusnya kesinambungan budaya sejak zaman prasejarah hingga abad ke-19, turut memperkaya khasanah sejarah Jakarta. Namun sayang, situsnya sudah tergerus erosi dan tanahnya dijadikan lahan pertanian oleh penduduk setempat.

Situs di Jakarta yang paling banyak mengungkapkan periode prasejarah adalah Pejaten, di daerah Pasar Minggu. Sepanjang penelitian pada 1970-an, di situs ini banyak ditemukan gerabah berhias, beliung persegi, kapak perunggu, batu asahan, cincin perunggu, fragmen tulang, dan arang.

Umumnya temuan-temuan tersebut diperoleh pada kedalaman 50-100 cm di bawah permukaan tanah. Dari sampel arang inilah (pertanggalan Radio Carbon atau C-14) kemudian diketahui bahwa situs Pejaten memiliki masa sekitar 1000 SM hingga 500 M. Tragisnya, kini situs Pejaten telah lenyap tertutup oleh sebuah komplek perumahan, sehingga penelitian lanjutan tidak mungkin terlaksana lagi di sana.

Kendala

Banyaknya situs yang telah rusak atau lenyap tentu saja menjadi kendala besar bagi penelitian arkeologi prasejarah. Bilamanakah manusia prasejarah mulai menghuni Jakarta,  belum dapat diketahui dengan jelas, mengingat peninggalan arkeologi untuk bahan kajian tersebut hanyalah kerangka manusia yang ditemukan di situs Buni. Sedangkan kerangka prasejarah di situs Pejaten belum begitu jelas apakah tulang manusia ataukah tulang binatang. Ini karena artefak-artefak tersebut sudah sangat aus dan rapuh kondisinya. Di pihak lain, sampai sejauh ini, para arkeolog belum pernah menemukan tulang-tulang manusia purba  pada situs-situs lainnya.

Memang, penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama ini belum dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat purba sebagai penghuni pertama kota Jakarta. Dari kehadiran artefak-artefak prasejarah yang ditemukan secara luas di Jabodetabek dalam jumlah cukup banyak, kita hanya memperoleh petunjuk bahwa pada zaman prasejarah, Jakarta telah dihuni manusia.   

Minimnya penelitian arkeologi prasejarah Jakarta jelas menggambarkan upaya untuk mencari jati diri bangsa kurang diperhatikan. Pesatnya pembangunan fisik menyebabkan para arkeolog hanya bisa melaksanakan survei permukaan atau penelitian pendahuluan. Tak ada lagi penelitian lanjutan atau intensif karena memang sekarang situsnya sudah lenyap.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun