Pembangunan
Disayangkan, karena anggaran yang terbatas, maka penelitian arkeologi yang terlaksana baru mencapai taraf permulaan. Sangat jauh kalau dikatakan penelitian intensif atau ekskavasi menyeluruh. Akibat lama diterlantarkan, maka lapisan tanah pada situs-situs penggalian yang sudah dipilih, telah teraduk-aduk kembali oleh tangan manusia. Ini disebabkan selama bertahun-tahun saat kekosongan penelitian, masyarakat memanfaatkannya untuk penggarapan pertanian.
Rencana semula untuk menjadikan wilayah Tugu sebagai “Suaka Budaya Sejarah” tinggal angan-angan. Beberapa situs yang tadinya akan diekskavasi, terpaksa diurungkan karena lokasinya sudah keburu terbelah oleh pembangunan jalan. Bahkan radius 600 meter dari Gereja Tugu yang akan dibiarkan kosong, dilanggar pengambil keputusan sendiri (pemerintah) dengan melakukan pembangunan di sana. Mengapa situs Tugu bisa hilang, tentu karena ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat. Pemerintah di satu pihak melindungi warisan kuno, tetapi di pihak lain pemerintah juga yang menghilangkan warisan-warisan kuno itu. Sungguh ironis sekaligus memalukan.
Penggalian penyelamatan sebagai usaha konservasi peninggalan terpendam, hanya pernah dua kali dilakukan. Begitu pula, konservasi lingkungan seni budayanya. Karena itu hasil yang diperoleh belum dapat dikatakan maksimal.
Kini, situs Tugu tinggal namanya saja. Itu pun hanya bisa dijumpai di gedung arsip dan museum. Situs tersebut belum sempat diteliti secara mendalam. Usaha para arkeolog untuk menyelamatkan benda-benda yang tersisa, menjadi sia-sia karena kalah cepat oleh pembangunan fisik. Apakah ada rasa sesal di benak pengambil keputusan, entahlah.
Tidak dimungkiri, Jakarta telah mengorbankan warisan berharga untuk generasi-generasi mendatang. Dengan dalih “demi kepentingan ekonomi” maka berbagai peninggalan masa lampau itu begitu mudahnya tergusur oleh pembangunan. Juga dengan mengabaikan undang-undang perlindungan situs-situs kuno yang sudah dibuat jauh sebelumnya oleh pemerintah Indonesia sendiri maupun UNESCO (badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan).
Harga yang harus dibayar mahal sekarang adalah kita tidak mungkin lagi bisa mengetahui lokasi yang tepat dari Kerajaan Tarumanagara atau di mana letak kraton Raja Purnawarman. Belum lagi, masa-masa yang jauh sebelumnya. Sungguh disayangkan, Jakarta telah begitu mencederai masa lampaunya. Padahal, “Kota tanpa masa lampau adalah Kota Gila,” begitu kata sejumlah pengamat arsitektur dan warisan budaya kota.
Dulu, penelitian Kerajaan Tarumanagara pernah disponsori oleh Universitas Tarumanagara, bekerja sama dengan Universitas Indonesia dan Dinas Museum & Sejarah (sekarang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) DKI Jakarta. Mudah-mudahan banyak pihak, terlebih perguruan tinggi swasta, ikut mendukung penelitian tentang masa lampau Jakarta.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H