Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peninggalan Arkeologi, Dilecehkan oleh Rakyat Kecil hingga Pengusaha

15 April 2017   12:30 Diperbarui: 16 April 2017   02:00 1559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemindahan yoni kuno dari situs Gandekan atas upaya Komunitas Dewa Siwa (Foto: Derry Aditya)

Pemindahan yoni kuno dengan alat berat ke atas truk (Foto: Derry Aditya)
Pemindahan yoni kuno dengan alat berat ke atas truk (Foto: Derry Aditya)
Di AS, misalnya, banyak jalan raya terpaksa dibelokkan arahnya agar tidak menerjang situs-situs arkeologi. Meskipun harus mengubah master plan, adanya Arkeologi Publik tetap ditaati. Begitu pun pembangunan gedung di Inggris, terowongan bawah tanah di Italia, dan sarana umum di Mesir, semuanya tunduk dan mengacu pada Arkeologi Publik. Pembangunan di Indonesia pun harus mengacu kepada Arkeologi Publik, artinya menaati Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Studi Kelayakan Arkeologi (SKA).

Memberdayakan masyarakat

Di Indonesia Arkeologi Publik mulai dikembangkan tahun 1980-an. Awalnya berupa berbagai acara di stasiun televisi (TVRI) dan pameran-pameran kepurbakalaan di seluruh Indonesia.

Ironisnya, upaya keras itu sampai sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terbukti pencemaran terhadap peninggalan-peninggalan purbakala terus terjadi. Kemungkinan aktivitas negatif ini berlangsung terus-menerus karena kurangnya tenaga pengawas, penyuluh, penjaga, pelestari, dan sebagainya, di samping belum adanya kesadaran dari segolongan masyarakat.

Persoalannya sekarang yang perlu dicari jalan keluarnya secara mendesak adalah bagaimana agar kita bisa memberdayakan masyarakat. Mengingat kita sangat kekurangan tenaga arkeologi, tentulah hal demikian perlu diperhatikan sungguh-sungguh.

Di sinilah letak kesukaran melaksanakan Arkeologi Publik.  Di satu sisi, pola pikir masyarakat masih bersifat konsumtif dan ekonomis. Masyarakat lebih rela menjual bangunan-bangunan bersejarah kepada pihak investor yang kemudian mengubahnya menjadi bangunan komersial.  

Di lain sisi, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk mendukung sepenuhnya Arkeologi Publik, seperti memberikan subsidi biaya perawatan atau pemugaran bangunan cagar budaya. Termasuk juga tidak mampu memberikan ganti rugi yang sesuai untuk merelokasi masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan situs-situs arkeologi.

“Supaya bisa makan”

Ditunjang ketidakmengertian, kemasabodohan, dan ketidakpedulian masyarakat, maka berbagai tindakan negatif sering terjadi. Penduduk setempat hampir selalu berdalih “supaya bisa makan”. Akibatnya meskipun di suatu tempat ada situs, bila mereka ingin menanam, ya mereka akan tetap menanam. Ini bisa kita amati di perkebunan kentang di areal situs percandian Dieng.

Begitu pun masyarakat di sekitar Trowulan. Mereka umumnya tahu kalau bata-bata merah yang tersisa di sana merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun mereka tetap menggerusinya untuk dijadikan bahan baku pembuatan semen merah. Persoalannya adalah masalah ekonomi dan kebutuhan perut: konsumtif dan ekonomis tadi. Hidup mereka sangat tergantung dari industri kecil itu karena mereka  tidak memiliki kecakapan lain.

Sebenarnya bukan hanya rakyat kecil yang kerap melecehkan peninggalan arkeologi, pengusaha kakap pun sama saja. Situs Rancamaya di daerah Bogor, misalnya, sebenarnya sudah banyak disorot media massa sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran. Apa yang terjadi kemudian? Di areal situs tetap dibangun berbagai perumahan mewah lengkap dengan fasilitas aduhainya sehingga mengubur situs dari masa Sunda kuno itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun