Dokter Hery Kurniawan lama memandangi batu-batu kuno di Museum Nasional. Bukan sembarang batu loh. Pada batu-batu kuno itu ada rangkaian aksara kuno yang dipahat sedemikian cantik. Batu-batu beraksara kuno, karena sekarang tidak digunakan lagi, di kalangan arkeologi lazim disebut prasasti. Orang awam sering memberi nama lain, yakni batu bertulis atau batu bersurat.
“Luar biasa koleksinya. Saya baru pertama kali ke sini, meskipun sudah beberapa kali ke Jakarta,” katanya. Dokter Hery Kurniawan praktek di Malang. Ia mempunyai komunitas pemerhati sejarah dan budaya bernama Pandu Pusaka. Komunitasnya tergolong aktif dalam literasi dan blusukan. Pada bagian garasi rumahnya, sang dokter membuat perpustakaan sejarah dan budaya. Umumnya yang datang ke sana adalah para mahasiswa. Dalam blusukan, ia sering mengunjungi berbagai kepurbakalaan di sekitar Malang. Bahkan ia aktif memperkenalkan kawasan kepurbakalaan di Gunung Penanggungan.
Kami bertiga berdiskusi seputaran prasasti. Ditemani Trigangga, staf Museum Nasional yang memang ahli membaca aksara-aksara kuno. Di Museum Nasional itu terdapat prasasti tertua bertarikh abad ke-5, yakni yupa yang berasal dari Kalimantan Timur. Yupa berbentuk tiang batu, dihubungkan dengan Kerajaan Kutai. Itulah awal masa sejarah, yang sebelumnya disebut masa prasejarah. Dalam masa prasejarah, masyarakat belum mengenal sistem aksara.
Umumnya prasasti ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno. Namun ada juga prasasti yang ditulis dalam aksara Arab, Cina, dan Latin. Di Sumatera Utara malah pernah ditemukan prasasti berbahasa Tamil. Namanya Prasasti Lobu Tua atau Prasasti Barus, berasal dari abad ke-11 Masehi. Prasasti Lobu Tua juga menjadi koleksi Museum Nasional. Demikian juga dengan prasasti beraksara Arab.
Bahan
Budaya tulis di Nusantara rupanya sudah dikenal sejak lama, tepatnya mulai abad ke-5, menggunakan batu dan pahat. Batu merupakan bahan yang mudah didapat, sekaligus tahan lama. Selain andesit, yang digunakan sebagai sarana penulisan prasasti adalah batu kapur atau basalt. Di kalangan arkeologi, prasasti batu disebut upala prasasti.
Yang sedikit jumlahnya tapi tergolong unik adalah prasasti berbahan tanah liat atau tablet. Isi tablet adalah mantra-mantra agama Buddha. Sebenarnya, ada juga prasasti yang dituliskan di atas lembaran perak atau emas. Namun jumlahnya tidak banyak dan itu pun lebih cenderung menunjukkan nama orang/raja.
Di antara sekian jenis prasasti, rupanya hanya prasasti batu yang memiliki berbagai variasi bentuk. Mungkin disesuaikan dengan batu yang ada, lingkungan geografi, atau karena keterampilan sang pemahat. Yang terbanyak adalah berbentuk balok (segiempat), lingga (bulat panjang), dan yupa (tiang batu). Prasasti berbentuk stele, dengan bagian atas bulat atau lancip, juga banyak ditemukan. Demikian halnya dengan prasasti berbentuk wadah (jambangan, gentong, peti batu, lumbung) dan alamiah (batu alam). Sejumlah prasasti malah dipahatkan pada bagian candi dan badan arca (Hari Untoro Drajat, 1992). Dari berbagai bentuk itu, ada yang polos dan ada yang berhiasan, termasuk ukiran, simbol kerajaan, dan simbol keagamaan.
Kronologis
Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dipandang merupakan sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkapkan sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.
Disayangkan, masih banyak data belum muncul karena berbagai masalah, seperti huruf pada prasasti sudah aus, batunya pecah-pecah, sebagian tulisan hilang, dan belum terbaca karena tenaga ahlinya (pakar epigrafi atau epigraf) masih langka. Yang sudah terbaca pun perlu pembacaan ulang karena ada beberapa hal yang meragukan, misalnya aksaranya hilang atau aus. Di seluruh Indonesia, mungkin kita hanya memiliki belasan pakar epigrafi yang tersisa. Itu pun sebagian besar sudah berstatus pensiunan. Bahkan ada beberapa yang sudah meninggal.
Semoga generasi muda kita tertarik mempelajari aksara-aksara kuno sehingga memperkaya penulisan sejarah kuno Indonesia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H