Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prasasti yang Amburadul, Pertanda Pengrusakan Simbol Kerajaan oleh Pemenang

6 Maret 2017   12:43 Diperbarui: 7 Maret 2017   00:01 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempat-tempat temuan prasasti batu yang aksaranya  aus, menurut tafsiran arkeolog Prof. Dr. Agus Aris Munandar, adalah wilayah yang diperkirakan pernah menjadi area konflik zaman Airlangga.  Lamongan dan Jombang bagian utara merupakan wilayah pengembaraan, jelajah, dan tempat-tempat pertempuran Airlangga ketika harus menundukkan sejumlah kerajaan yang belum mengakui kekuasaannya. Di tempat itu ditemukan banyak prasasti yang aus. Prasasti-prasasti batu Airlangga yang relatif utuh, ditemukan  di luar wilayah Lamongan selatan dan Jombang. Di kedua wilayah tersebut banyak prasasti yang bercirikan batu prasasti Airlangga meskipun aksaranya hilang.

Di masa silam semua pembesar kerajaan yang kalah akan dihukum mati, dibuang, dipenjara, kecuali segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa baru.Agaknya hal demikian juga terjadi dan diterapkan dalam konflik dan peperangan antar kerajaan pada masa Jawa Kuno. Dengan demikian prasasti-prasasti batu yang dikeluarkan oleh seorang raja akan menjadi salah satu sasaran penghancuran oleh raja pemenang jika saja terjadi peperangan.

Prasasti yang pecah berkeping-keping di Museum Nasional (Dokpri)
Prasasti yang pecah berkeping-keping di Museum Nasional (Dokpri)
Prasasti umumnya dapat dipandang sebagaitanda kebesaran seorang raja yang berkuasa, perintah raja yang harus ditaati hingga akhir zaman, merupakan bukti kekuasaan dan kewibawaan raja, sebagai penanda wilayah yang dikuasai oleh seorang raja pembuat prasasti, dan merupakan dokumen struktur kuasa pejabat. 

Dengan demikian dapat dipahami apabila sekarang banyak prasasti batu dari masa Jawa Kuno telah aus aksaranya. Sangat mungkin keausan tersebut bukan karena perbuatan alam (angin, panas, dan hujan), melainkan sengaja diauskan, dipupus atau digerus aksaranya sehingga tidak bisa dibaca lagi. Yang melakukan pengggerusan aksara pada prasasti batu adalah pihak pemenang yang tidak suka lagi kepada keputusan-keputusan atau perintah raja atau dinasti raja yang dikalahkannya.

Biasanya dalam prasasti-prasasti juga dicantumkan sejumlah kutukan (sapatha) bagi siapa yang berani melanggar perintah sang raja atau malah merusak batu prasasti tersebut. Untuk memusnahkan “kesaktian”  kutukan maka aksara pada permukaan prasasti harus lenyap semuanya. Jika demikian jadinya maka batu prasasti itu menjadi batu yang kosong tanpa aksara. Tidak salah kiranya apabila kemudian diduga sebagai batu calon prasasti.

Pemusnahan simbol kuasa raja tersebut agaknya tidak cukup hanya dengan pengikisan aksara pada batu prasasti, malah banyak prasasti yang kemudian dipecahkan menjadi dua bagian atau dipecahkan berkeping-keping menjadi beberapa bagian. Banyak fragmen prasasti batu yang ditemukan, menunjukkan bahwa batu prasastinya memang telah dipecahkan. Contoh yang terkenal adalah Prasasti Arca Camundi yang dikeluarkan oleh Raja Krtanagara. Mungkin karena begitu dahsyatnya kekuatan magis prasasti batu itu, maka perlu diremukkan berkeping-keping oleh pihak yang membenci Krtanagara. Mungkin sekali atas perintah Jayakatwang yang menurut Mpu Prapanca dipandang sebagai mitra drohaka.

Pengrusakan terhadap simbol-simbol kerajaan yang kalah oleh pihak kerajaan pemenang memang layak dilakukan untuk menunjukkan keunggulan pihak pemenang. Ketika peperangan kerap kali terjadi, maka terjadi pula penghapusan pada simbol-simbol dan pembentukan simbol-simbol baru. “Dalam pertalian dengan berbagai peperangan yang terjadi itulah, maka banyak prasasti batu dari pihak raja yang kalah akan dipupus secara sengaja oleh pihak kerajaan pemenang,” kata Agus lagi.

Meskipun demikian terdapat pula prasasti-prasasti batu yang ditemukan masih dapat dibaca dengan baik, walaupun dari masa yang sangat jauh di belakang era peperangan antar kerajaan. Misalnya beberapa prasasti dari Raja Pu Sindok (abad ke-10) yang masih bertahan hingga sekarang. Agaknya seorang raja yang dipandang berkharisma, prasasti-prasastinya akan tetap ditaati sampai waktu yang lama.

Batu yang digunakan untuk memahat prasasti, kebanyakan batu andesit. Batu sungai ini tergolong tahan lama, sebagaimana tercermin dari bangunan-bangunan candi.  Namun untuk wilayah geografis tertentu, prasasti terpahat dari batu kapur atau batu karang. Batuan jenis ini tergolong lebih lunak dibandingkan batu andesit. Prasasti yang aus diketahui memakai jenis batuan ini.  Pada prasasti tersebut jelas adanya tanda-tanda aksara, namun karena fisiknya aus, aksaranya menjadi tidak terbaca.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun